Migrasi penduduk desa ke kota dianggap sebagai salah satu tantangan pembangunan. Arus migrasi ini disebabkan oleh minimnya keterampilan, kesempatan, dan peluang kerja yang ada di pedesaan. Perkotaan dipandang lebih memberikan banyak pilihan pekerjaan dibandingkan pedesaan.
Saat ini terjadi disrupsi revolusi 4.0 berupa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang masif. Adanya perkembangan TIK dari sisi fungsi, kapasitas, dan aksesibilitas dapat mendorong masyarakat pedesaan mendapatkan keterampilan dan jangkauan pasar maupun pekerjaan yang lebih luas. Sehingga pemanfaatan TIK dapat menjadi bentuk rekayasa sosial dalam rangka menjadikan hidup yang lebih baik.
Sementara itu tingkat penggunaan TIK untuk pengembangan usaha di pedesaan masih tergolong rendah[i]. Tantangan pemanfaatan TIK di pedesaan tidak sepenuhnya terkait geografis dan infrastruktur tetapi juga pola adopsi individu dan sosial ekonomi (pendapatan, pendidikan dan sektor pekerjaan)[ii]. Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu jalan yang ditempuh.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Namun seringkali dalam proses pemberdayaan, masyarakat hanya dipandang sebagai subyek. Sehingga keberhasilan-keberhasilan yang dicapai hanya diukur secara ekonomi dan fisik. Pemberdayaan melalui pembangunan berpusat pada manusia (people centered development) menjadi alternatif guna lebih melibatkan masyarakat dan hasilnya lebih mengena. Atas dasar tersebut Sulasih dkk. menulis jurnal: the role of digital technology in people-centered development: the basic needs approach in the Kampung Marketer program[iii].
Penulisan jurnal ini bertujuan untuk mengetahui peran teknologi digital dalam pembangunan berpusat pada manusia serta mengukur dampaknya dengan pendekatan kebutuhan dasar di Kampung Marketer[iv]. Pembangunan berpusat pada manusia (people centred development) sesungguhnya lebih menekankan pada pemberdayaan manusia melalui peningkatan kapasitasnya. Sehingga masyarakat mampu mengendalikan kehidupan mereka sendiri dengan mengelola sumber daya yang ada[v].
Dalam jurnal ini Sulasih dkk membagi tulisannya menjadi empat bab yaitu: pengantar, metode, hasil dan diskusi, serta kesimpulan-rekomendasi. Sehingga secara umum jurnal ini sudah memuat semua bagian dari penulisan dan secara struktur tersusun dengan baik[vi]. Secara metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Namun pada metode, peneliti tidak menjelaskan lokasi penelitian yang dinamai Kampung Marketer berada di desa dan kecamatan mana. Penjelasan terkait jumlah maupun latar belakang informan yang digunakan sebaiknya juga perlu disampaikan.
Pada bagian awal pembahasan Sulasih dkk menyatakan bahwa pembangunan berpusat pada manusia dirancang untuk mendorong partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat. Pembangunan berpusat pada manusia terdiri dari elemen desentralisasi, partisipasi, pemberdayaan, pelestarian, jejaring sosial, kewilayahan, serta keberlanjutan[vii]. Konsep pembangunan terpusat pada manusia dengan pemanfaatan TIK menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar yang dimaksud terdiri dari: (1) penciptaan lapangan kerja; (2) meningkatnya pertumbuhan ekonomi; (3) pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Ketiga hal ini telah tereksekusi dengan baik oleh Kampung Marketer.
Tantangan bahwa sumber daya manusia pedesaan kurang terampil dijawab melalui berbagai pelatihan dan pendidikan terkait teknologi digital khususnya mengenai pemasaran digital. Materi yang diajarkan disesuaikan dengan kebutuhan pasar/klien. Materi tersebut antara lain mengenai pengetahuan pemasaran, penelitian produk, copywriting, iklan di media sosial, serta literasi keuangan. Melalui berbagai pelatihan dan pendidikan tersebut terjadi perubahan sosial para peran warga menjadi sosok customer service, advertisers. admin media sosial, serta berbagai peran yang diperlukan oleh pelaku bisnis[viii].
Di Kampung Marketer juga terdapat divisi pemberdayaan yang berperan untuk memberdayakan sumber daya manusia hasil pendidikan dan pelatihan. Pemberdayaan dilakukan dengan menggandeng berbagai UMKM yang memerlukan dukungan administrasi. Secara kuantitas jumlah cabang Kampung Marketer terus bertambah. Pertambahan ini merupakan indikator semakin banyaknya pelaku bisnis yang bekerjasama dengan Kampung Marketer,
Dalam menjawab tujuan penelitian ini, Sulasih dkk berargumen dengan temuan bahwa Kampung Marketer mampu menciptakan lapangan kerja melalui pemanfaatan TIK. Keberhasilan Kampung Marketer dalam memanfaatkan TIK dan menggandeng mitra membuat terciptanya berbagai kesempatan kerja. Pekerja yang bergabung mulai dari lulusan SMP sampai jenjang sarjana bergabung[ix]. Fenomena ini menjadi bukti bahwa rekayasa sosial melalui peran teknologi mampu menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan menghambat arus urbanisasi.
Indikator pendekatan kebutuhan dasar selanjutnya dilihat dengan melihat pertumbuhan ekonomi. Kampung Marketer telah mengubah stigma masyarakat desa yang perlu merantau untuk mendapatkan penghasilan. Dalam sebulan perputaran uang di Kampung Marketer mencapai Rp 1,5 miliar. Rata-rata pendapatan yang diterima masyarakat 1-3 juta/bulan[x].
Dampak positif Kampung Marketer juga dirasakan warga sekitar. Masyarakat mendapatkan peluang usaha melalui berbagai usaha seperti restoran, penginapan, laundry, hingga katering. Tentu dampak ekonomi itu dapat membuka lapangan kerja lainnya. Adanya geliat ekonomi di Kampung Marketer turut mengubah tingkat kebutuhan dasar masyarakat menjadi lebih baik. Pada awalnya di Kampung Marketer, rata-rata pendidikan warga hanya sampai jenjang SMP dan hanya sedikit yang sarjana. Namun dengan dampak ekonomi dari Kampung Marketer, masyarakat dapat menggapai jenjang pendidikan lebih tinggi. Bahkan warga dapat membeli rumah dan tanah.
Yang menarik pada penelitian ini juga mengungkap generasi lansia (baby boomers) tetap dilibatkan dalam aktivitas Kampung Marketer. Melalui Saung Makaryo, lansia didorong untuk memproduksi berbagai kerajinan yang nantinya dijual oleh jaringan pada Kampung Marketer. Pada penelitian lainnya juga mengungkap bahwa masyarakat disabilitas difasilitasi melalui program Brayan Majeng (BM). Disabilitas tersebut menjadi customer service ataupun advertaiser[xi]. Hal ini menjadi bukti bahwa Kampung Marketer berhasil melakukan pemberdayaan dengan melibatkan semua elemen masyarakat desa.
Secara umum jurnal ini telah mampu menjawab tujuan. Namun akan lebih baik apabila disinggung juga terkait aktor yang berperan dalam eksistensi Kampung Marketer. Kemudian pada pembahasan pertumbuhan ekonomi sebaiknya perlu juga digambarkan terkait kondisi pendapatan masyarakat sebelum ada Kampung Marketer. Agar lebih dapat menggambarkan peningkatan pendapatan yang diperoleh. Kemudian dari sisi jenjang pendidikan yang lebih baik, akan lebih menarik apabila diungkap data kuantitatif (bisa dari penelitian sebelumnya) sebelum dan saat ada Kampung Marketer.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan tersebut, Sulasih dkk. telah menyampaikan karyanya secara runtut dan sistematis. Sulasih dkk. mampu menggambarkan bahwa Kampung Marketer merupakan wujud dari keberhasilan rekayasa sosial melalui pemasaran digital. Sehingga masyarakat mampu mengubah kehidupannay menjadi lebih baik. Sangat tepat bahwa indikator keberhasilan yang disampaikan mendasarkan pada pemenuhan kebutuhan dasar yaitu lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan dasar. Ketiga hal ini juga merupakan bagian untuk mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Jurnal ini layak dijadikan referensi untuk melihat pemberdayaan masyarakat desa melalui pemanfaatan TIK. Perubahan sosial yang terjadi di Kampung Marketer menjadi bukti bahwa masyarakat desa mampu berdaya dengan pemanfaatan TIK. Melalui peningkatan kapasitas SDM dengan berbagai pelatihan dan pendidikan menjadikan masyarakat menjadi lebih cakap terhadap teknologi. Yang pada akhirnya mampu menolong diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
[i] Burhan, A.B. 2018. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untukpengembangan ekonomi pertanian dan pengentasan kemiskinan. J Komunikasi Pembangunan. 16(2): 233-247. https://doi.org/10.46937/16201826338
[ii] Davies, A. COVID-19 and ICT-supported remote working: opportunities for rural economies. World 2021, 2, 139–152. https:// doi.org/10.3390/world2010010
[iii] Sulasih, S., Suroso, A., Novandari, W., & Suliyanto, S.2022. The role of digital technology in people-centered development: the basic needs approach in the Kampung Marketer Program. Jurnal Perspektif Pembiayaan Dan Pembangunan Daerah, 9(6), 493 – 502. https://doi.org/10.22437/ppd.v9i6.15340
[iv] Sulasih, S., dkk.p.495
[v] Purwowibowo, Hendrijanto K., Soelistijono, PA. 2018. Peningkatan kapasitas manusia sebagai fokus dari people centered development /05/ Vol. 6. No.2.283-300 http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo
[vi] Ryan, F., Coughlan, M., & Cronin, P.2007. Step-by-step guide to critiquing research. Part 2: Qualitative research. British Journal of Nursing (Mark Allen Publishing), 16(12), 738–744. https://doi.org/10.12968/bjon.2007.16.12.23726
[vii] Sulasih, S., dkk.p.496
[viii] Sulasih, S., dkk.p.497
[ix] Sulasih, S., dkk.p.497
[x] Sulasih, S., dkk.p.498
[xi] Mawasti, Wahanani.2021. Keberhasilan Difusi Inovasi Gagasan Social Enterprise dalam Pemberdayaan Masyarakat Islam: Studi Komunitas Kampung Marketer Purbalingga, 8(2), 262-292. https://doi.org/10.33650/at-turas.v8i2.2712