Dunia saat ini dihadapkan pada empat disrupsi: perubahan iklim, revolusi 4.0, pandemi covid 19 yang menuju endemi, serta konflik Ukraina-Rusia. Berbagai disrupsi tersebut memberikan goncangan global terutama terkait sektor energi dan pangan. Harga pangan dan energi fluktuatif.
Konsumsi energi fosil (BBM) terutama terkait subsidi selalu menjadi pembicaraan hangat pada setiap periode kepemimpinan nasional. Guna mengurangi penggunaan BBM khususnya terkait beban subsidi, pemerintah telah mendorong untuk pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT). Kalangan internasional pun turut mendukung langkah pemerintah ini dalam upaya dekarbonisasi. Yang terbaru datang dari gelaran G20 di Bali tahun lalu. Indonesia mendapatkan komitmen hibah dan pinjaman lunak senilai USD 20 miliar.
Di sisi lain kepercayaan internasional tersebut memberikan tantangan terhadap Indonesia terkait kemampuannya dalam mewujudkan berbagai target yang ditetapkan untuk menuju Net Zero Emissions (NZE). Tentu guna mewujudkan NZE selain dukungan pembiayaan, infrastruktur teknologi, dan regulasi, yang paling penting lainnya adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang mumpuni.
Seringkali suatu program hanya berfokus pada aspek teknis, teknologi, proses bisnis, serta logistik. Aspek sumber daya manusia (SDM) seringkali kurang diperhatikan. Padahal berbicara pada konteks yang lebih luas, berbagai aspek yang disebut diawal tadi tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan SDM.
Disrupsi dan EBT
Pembangunan identik dengan proses menjadikan kehidupan lebih baik (Soetomo, 2012). Saat ini pembangunan diarahkan untuk lebih memperhatikan lingkungan atau dikenal dengan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan menuntut adanya perlindungan lingkungan dan sumber daya alam yang kelak juga bisa dimanfaatkan generasi selanjutnya.
Perubahan iklim merupakan salah satu masalah lingkungan yang paling kritis yang dialami seluruh dunia. Sebab perubahan iklim memiliki banyak konsekuensi bagi keberlanjutan proses pembangunan. Berbagai bencana akibat perubahan iklim tentunya mempengaruhi proses atau capaian-capaian pembangunan yang masih berjalan.
Dampak perubahan iklim terhadap kehidupan semakin nyata. Para ilmuwan menilai cuaca ekstrim membuat kekeringan dan banjir semakin sering terjadi. Pada tahun 2050, banjir 100 tahun saat ini akan terjadi setidaknya dua kali lebih sering di 40% dunia (Arnell & Gosling, 2016). Bahkan BNPB mencatat pada 2022 terjadi 3.531 bencana di Indonesia yang mayoritas merupakan bencana hidrometeorologi: banjir, tanah longsor, cuaca ekstrim, serta kekeringan. Kerugian akibat perubahan iklim tidak sedikit. Bappenas menaksir kerugian perubahan iklim pada 2020-2024 mencapai Rp. 544 triliun (LCDI, 2022). Bahkan Kemenkeu (2021) mencatat potensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66 persen sampai dengan 3,45 persen terhadap PDB pada tahun 2030.
Untuk itu perlu upaya konkret dalam penanganan perubahan iklim sebagaimana tujuan ke 13 dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu climate action. Indonesia menjadi bagian dari Paris Agreement 2015 yaitu kesepakatan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celcius dengan upaya mengurangi emisi karbon (Hidayatullah, 2021). Salah satu upaya penanganan perubahan iklim yaitu dengan menekan konsumsi energi fosil. Berbagi negara termasuk Indonesia tengah gencar-gencarnya melakukan transisi dari energi fosil menuju energi baru dan terbarukan.
Di sisi lain produksi minyak nasional menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh produksi yang mayoritas ditopang oleh lapangan-lapangan yang sudah menua dan telah memasuki fase declining. Gap antara kebutuhan energi dan produksi minyak ini tentunya perlu untuk segera dicarikan solusinya agar stabilitas dan ketahanan energi nasional dapat terjaga (Hermawan & Purwanto, 2021)
Untuk itu energi baru terbarukan merupakan energi masa depan. Mengacu pada Perpres Nomor 11 Tahun 2023 energi baru terbarukan (EBT) merupakan adalah energi yang berasal dari sumber energi baru atau sumber energi terbarukan. Sumber EBT terdiri dari air (hidro), sinar matahari (solar), angin (bayu), laut, panas bumi, serta nuklir. Indonesia sendiri memiliki potensi energi terbarukan yang begitu besar. Menurut Kementerian ESDM (2022) potensi EBT yang dimiliki Indonesia sekitar 3.000 giga watt (GW) dan untuk potensi panas bumi mencapai 24 GW.
Berbagai potensi EBT tersebut strategis untuk dimanfaatkan untuk mendukung Net Zero Emissions (NZE). Pemanfaatan EBT sejatinya merupakan bagian dari aksi mitigasi terhadap perubahan iklim. Sebab penggunaan EBT merupakan langkah penurunan emisi gas rumah kaca melalui transisi energi yang minim emisi, lebih bersih, serta tentunya ramah lingkungan.
Tantangan EBT
Namun upaya pemanfaatan EBT tidak lepas dari berbagai tantangan. Berbagai tantangan tersebut diantaranya: biaya produksi listrik dari pembangkit EBT relatif lebih tinggi, adanya komponen teknologi yang masih impor, serta kendala transfer teknologi antara pusat dan daerah (Haryanto, 2017) (Lauranti & Djamhari, 2017). Tantangan tersebut melengkapi berbagai tantangan lainnya terkait regulasi, anggaran, infrastruktur, serta teknologi. Meski begitu pemerintah tetap berupaya guna mencapai target pemanfaatan EBT sebesar 29% di tahun 2030 serta komitmen terkait NZE pada 2060.
Kementerian ESDM merupakan leading sector atau aktor utama dalam mengembangkan kebijakan energi terbarukan dan mengawasi sektor energi terbarukan. Untuk itu Kementerian ESDM perlu menjamin bahwa sumber daya yang ada di kementerian siap untuk memimpin transisi EBT. Mengingat proses transisi energi menuju EBT sangat terkait dengan infrastruktur, teknologi, regulasi, kolaborasi, maupun pendanaan, SDM ESDM perlu disiapkan akan mampu mengambil bagian serta tentunya memiliki peran.