Semakin bertambahnya umur bumi intensitas bencana semakin sering terjadi. Salah satu penyebabnya adalah perubahan iklim yang memicu bencana hidrometeorologi. Hal ini diperparah dengan adanya praktek korporasi dalam pembukaan usaha yang tidak mempertimbangkan lingkungan. Sehingga banjir dan tanah longsor semakin sering terjadi.
Kaitannya dengan pembangunan masyarakat, bencana merupakan salah satu wujud perubahan yang tidak direncanakan yang dapat mempengaruhi proses pembangunan. Pembangunan masyarakat merupakan fenomena sosial berupa proses perubahan menuju kondisi kehidupan yang lebih baik (Soetomo, 2012). Tentunya adanya bencana akan membuat masyarakat terganggu dalam mencapai kehidupan yang lebih baik.
Adanya bencana dapat mengakibatkan perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat. Penelitian yang dilakukan Fahlia et al., (2019) mengemukakan bahwa bencana gempa bumi menyebabkan perubahan perilaku sosial ekonomi yang dipicu oleh rusaknya tempat tinggal dan terganggunya mata pencaharian.
Kota Tidore Kepulauan merupakan wilayah yang sering mengalami bencana utamanya gempa bumi. Wilayah ini berada di jalur cincin api (ring of fire) serta berada di tiga jalur lempeng tektonik utama (Hindia-Australia, Eurasia dan Pasifik) serta tiga lempeng tektonik kecil (Sangihe, Maluku, dan Halmahera). Selain gempa bumi Tidore Kepulauan juga masuk wilayah rawan tsunami. Bahkan berdasarkan rilis dari BNPB (2019) dari 89 desa/kelurahan di Tidore Kepulauan, 46 diantaranya masuk kategori dengan kelas bahaya tsunami tingkat sedang. Daerah tersebut merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan perairan Laut Maluku.
Sejarah mencatat pada tahun 1858 tercatat tsunami setinggi sembilan meter pernah menerjang wilayah Tidore Kepulauan. Pemerintah Kota Tidore Kepulauan dalam rencana kontingensi gempa bumi berpotensi tsunami yang disusun pada 2019 disebutkan bahwa potensi gempa bumi bisa mencapai magnitude 8 dengan gelombang tsunami tertinggi tiga meter serta menimbulkan korban 22.000 (meninggal dan luka-luka).
Namun saat ini tantangan yang paling utama adalah menyadarkan masyarakat pesisir akan makna dan besarnya potensi bencana yang mereka hadapi. Semakin beragamnya bencana bisa jadi tidak mampu hanya diimbangi oleh pengetahuan/kearifan lokal yang ada di masyarakat. Selain gempa bumi dan tsunami, potensi bencana hidrometeorologi juga membayangi wilayah Kota Tidore Kepulauan.
Gelombang laut tinggi yang biasanya terjadi pada awal dan akhir tahun, saat ini semakin sering terjadi. Pengaruh bibit siklon yang berulang terjadi di Samudera Pasifik berdampak pada gelombang tinggi yang terjadi di perairan Maluku. Sehingga membuat nelayan tidak dapat berlayar dan menurunkan pendapatan.
Disisi lain pola pengembangan pemukiman di sekitar pesisir yang cenderung meningkat dan padat merupakan salah satu indikator bagaimana kepekaan masyarakat terhadap bencana berkurang. Mengingat daerah pesisir merupakan zona yang rawan gempa, tsunami, abrasi, juga kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim. Semakin padatnya pemukiman di pesisir akan mengganggu kecepatan proses evakuasi apabila bencana terjadi.
Kejadian gempa bumi yang sering terjadi yang dirasakan masyarakat nyaris tidak menyebabkan kerusakan di Kota Tidore Kepulauan. Persoalan ini dikhawatirkan terlanjur menyebabkan anggapan biasa, abai, serta menghilangkan rasa krisis masyarakat pesisir terhadap bencana. Wahyuni (2021) menyatakan bahwa kondisi seperti ini menyebabkan komunikasi tidak akan berkembang. Tidak berkembangnya komunikasi tentu membuat masyarakat tidak sadar mengenai makna dan potensi bencana.
Akses Informasi Meningkatkan Respons Masyarakat dalam Mitigasi Bencana
Kesadaran masyarakat pesisir perlu ditumbuhkan meskipun pada sistem masyarakat terdapat early warning system dalam merespons bencana. Misalnya kearifan lokal di Maluku Utara ketika ikan-ikan naik ke daratan dalam jumlah besar merupakan pertanda alam akan terjadinya gempa. Seperti ketika peristiwa bencana letusan Gunung Kie Besi pada tahun 1988 (Zamzami & Hendrawati, 2014).
Pengetahuan/kearifan lokal ini tentunya mendapatkan tantangan terkait makin bervariasinya potensi bencana yang ada. Sehingga dikhawatirkan perubahan pola bencana menyebabkan masyarakat terlambat dalam merespons bencana yang terjadi apabila hanya mengandalkan pengetahuan lokal. Untuk itu perlu dikolaborasikan antara pengetahuan lokal dengan informasi modern.
Disisi lain ditengah keberlimpahan informasi masyarakat pesisir dihadapkan dengan berbagai pilihan informasi, baik itu informasi terkait dengan hiburan, pendidikan, lingkungan dan lainnya. Namun informasi terkait dengan kebencanaan yang ditawarkan berbagai media mainstream seringkali hanya berfokus pada korban dan kerusakan (dampak) yang ditimbulkan.
Sehingga peran berbagai pihak baik dari kalangan pemerintah, swasta, maupun perguruan tinggi sangat penting dalam membantu masyarakat pesisir mengakses informasi. Hasil-hasil penelitian maupun kajian perlu dibumikan. Memang berbagai platform digital telah digunakan berbagai instansi tersebut dalam menyebarluaskan segala informasi terkait dengan kebencanaan. Namun struktur sosial masyarakat yang tidak seragam tentunya tidak bisa hanya dijangkau menggunakan media digital atau satu jenis media saja.
Komunikasi interpersonal melalui berbagai sosialisasi, penyuluhan, maupun kunjungan door to door perlu diintensifkan agar mempermudah menyadarkan masyarakat terkait kebencanaan. Tingkat pengetahuan dan motivasi masyarakat pesisir menjadi tantangan dalam upaya diseminasi informasi (Djaffar, 2017). Komunikasi interpersonal tidak hanya sebatas dialog namun juga bersifat partisipatif dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat pesisir.
Mahasiswa yang melakukan kuliah kerja nyata (KKN) maupun berbagai program Corporate Social Responsibility (CSR) dapat menjadi strategi dalam penyampaian informasi terkait bencana. Mengingat informasi merupakan pusat pembangunan sosial (Wahyuni, 2019). Informasi juga sebagai bagian dari komunikasi yang membentuk sistem sosial dalam masyarakat.
Informasi dalam bentuk mitigasi yang diberikan dalam menghadapi bencana menurut Diposaptono (2003) dapat dilakukan secara struktural melalui upaya teknis, maupun non struktural yang menyangkut pengaturan dan penyesuaian perilaku masyarakat. Nantinya sistem yang ada pada masyarakat dapat merespons berbagai informasi menjadi suatu keputusan kaitannya dengan mitigasi. Dalam proses mitigasi bencana di kawasan pesisir dapat ditempuh melalui pembangunan zonasi wilayah bencana, sistem peringatan dini, pembangunan konstruksi aman gempa, pembuatan jalur dan tempat evakuasi, sosialisasi kepada masyarakat, simulasi kebencanaan, serta penanaman mangrove (Sari et al., 2014).
Akses informasi juga terkait pemahaman masyarakat pesisir dalam mengenali berbagai teknologi informasi yang ada terkait kebencanaan. Masyarakat perlu diajak untuk bersama-sama mampu mengakses atau menerjemahkan pesan yang ada dalam teknologi informasi tersebut. Sehingga dalam era digitalisasi, kemampuan masyarakat pesisir dalam literasi digital perlu ditingkatkan. Agar mereka tidak hanya mampu menerima pesan tapi juga membuat/ memproses pesan untuk disampaikan ke sesama atau pihak terkait.
Kemudian terhadap teknologi fisik berupa alat-alat early warning system, masyarakat perlu dilibatkan dalam menjaga dan merawatnya. Sebab salah satu isu yang ironis adalah alat-alat kebencanaan sering dirusak/diambil oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab.
Apabila masyarakat sudah dapat memanfaatkan berbagai informasi untuk pengambilan keputusan, maka akan lebih mudah masyarakat terlibat dalam perencanaa, pelaksanaan, maupun evaluasi berbagai program. Pada akhirnya informasi sebagai pusat pembangunan sosial menjadikan masyarakat pesisir lebih peka terhadap kondisi alam dan sekitarnya. Informasi juga sebagai bagian dari faktor personal untuk mempercepat proses mengatasi krisis atau kembali ke status seperti sebelum krisis (resiliensi).
Kesimpulan
Intensitas bencana yang semakin sering dari waktu ke waktu menuntut masyarakat pesisir harus siap. Sistem sosial yang ada di masyarakat perlu dibangunkan agar mereka sadar bahwa bencana yang terjadi dapat mengganggu proses dan tujuan pembangunan (kehidupan menjadi lebih baik). Kesadaran masyarakat dapat ditimbulkan dengan tetap memanfaatkan berbagai pengetahuan lokal dengan dikombinasikan dengan perkembangan teknologi informasi.
Keberlimpahan informasi yang ada saat ini perlu dikelola oleh masyarakat pesisir agar dapat menentukan mana yang cocok dan sesuai dengan yang mereka butuhkan. Harapannya akses informasi akan meningkatkan kesadaran masyarakat pesisir dalam mitigasi bencana. Pada akhirnya apabila bencana terjadi kerusakan yang terjadi dapat diminimalkan dan proses resiliensi masyarakat pesisir dapat berjalan cepat.
Daftar Pustaka
BNPB. (2019). Katalog Desa Kelurahan Rawan Tsunami Kelas Bahaya Tinggi dan Sedang. https://bnpb.go.id/uploads/24/katalog-desa-kelurahan-rawan-tsunami.pdf
Diposaptono, S. (2003). Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Jurnal Alami: Jurnal Teknologi Reduksi Risiko Bencana, 8(2), 1–8. http://ejurnal2.bppt.go.id/index.php/ALAMI_ALLM/article/view/1683
Djaffar, R. (2017). Diseminasi Teknologi Informasi pada Masyarakat Nelayan di Kabupaten Takalar dan Barru. Jurnal Penelitian Komunikasi Dan Opini Publik, 21(1), 73–87. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.33299/jpkop.21.1.955
Fahlia, F., Irawan, E., & Tasmin, R. (2019). Analisis Dampak Perubahan Perilaku Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Mapin Rea Pasca Bencana Gempa Bumi. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Indonesia, 4(1), 51–55. https://doi.org/10.37673/jebi.v4i1.362
Pemerintah Kota Tidore Kepulauan. 2019. Rencana Kontingensi Gempabumi Berpotensi Tsunami. https://bnpb.go.id/uploads/24/renkon-2020/renkon-tidore-2019.pdf. Diakes 10 Desember 2021
Sari, N. W., Sulandari, S., & Dyah Lituhayu. (2014). Mitigasi gempa dan tsunami di Kota Padang. Journal Of Public Policy And Management Review, 3(2). https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jppmr/article/view/5127/4934
Soetomo. (2012). Keswadayaan Masyarakat Menifestasi Kapasitas Masyarakat Untuk Berkembang Secara Mandiri (Cetakan I). Pustaka Pelajar.
Wahyuni, H. I. (2019). Ecological Communication in Information Society: Reflections on Niklas Luhmann’s Thought in Understanding Ecological & Disaster Issues in Indonesia. Jurnal Komunikasi, 4(1), 9–17. https://doi.org/10.25008/jkiski.v4i1.270
Wahyuni, H. I. (2021). Komunikasi Autopoiesis Sebagai Energi Adaptasi Sistem Sosial: Respon, Resonansi, (R)evolusi. Pidato Pengkukuhan Guru Besar
Zamzami, L., & Hendrawati. (2014). Kearifan Budaya Lokal Masyarakat Maritim Untuk Upaya Mitigasi Bencana di Sumatera Barat. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 16(1), 37–48. https://doi.org/https://doi.org/10.25077/jantro.v16.n1.p37-48.2014