N: Mbak, S2 ternyata makin kesini makin sepi, tenggelam dengan topik masing-masing
A: Ya memang Ven, pokoknya harus pinter-pinter nyari teman sejalan
N: He e, kadang pengen rame-rame biar bersama-sama…tapi pada akhirnya memilih jalan ninja masing-masing
A: Tapi kadang kalo sendiri itu tidak baik. Paling tidak berdua, biar ada temennya.
Itulah inti percakapan yang sudah dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia antara saya dengan senior yang sudah lulus. Pertanyaan saya adalah asumsi yang coba saya validasi dengan pendapat senior, dan dibenarkan.
Jenjang pendidikan S2 memang bisa dibilang lebih singkat, hanya 2 tahun, normalnya. Bandingkan S1 dan S3 yang normalnya ditempuh dalam waktu 4 tahun. Dua semester pertama teori, kemudian 2 semester berikutnya penelitian. Saat memasuki tahap penelitian serasa masing-masing mahasiswa tenggelam dengan topik atau kesibukannya masing-masing. Yang tadinya berbelasan, berpuluhan hanya tinggal beberapa saja yang masih intens komunikasi. Itu pun paling circle kecil.
Komunikasi yang berkurang ini yang seringkali menjadi tantangan buat para mahasiswa dalam menyelesaikan studi. Mengingat dalam proses penyusunan proposal dan pengerjaan penelitian tentunya tidak bisa sendiri. Perlu dukungan lingkungan yang kondusif.
Itulah mengapa teman satu kontrakan sering bolak-balik Yogya-Ternate dalam rangka menjaga semangat studi. Memang kalau jauh dari kampus suasana akademik terasa kurang. Meskipun hanya nongkrong di perpustakaan dan melihat aktivitas mahasiswa lain, sejatinya itu cara mahasiswa dalam merawat semangat untuk tetap on the track. Barangkali itu yang disebut efikasi diri, atau social learning. Dengan melihat teman berproses, maka akan terpacu untuk berproses juga.
Menjadi mahasiswa akhir merupakan hal yang tidak mudah. Berbagai kendala menyertai dalam proses menuju lulus. Baik kendala secara personal, teknis, maupun struktural. Beberapa waktu lalu saat memaparkan dihadapan sponsor, teman saya merangkum berbagai kendala yang dihadapi petugas belajar (dan mahasiswa pada umumnya).

Kendala personal dianggap sebagai kondisi psikologi dan fisik mahasiswa yang menyebabkan terganggunya/ tidak optimalnya studi. Kemudian adanya kebijakan dan implementasi yang menciptakan kondisi yang (dirasa) kurang memungkinkan untuk akseleratif disebut sebagai kendala struktural. Sedangkan kendala teknis terkait situasi kesulitan dalam menyelesaikan proposal, pelaksanaan penelitian, penyusunan naskah akademik maupun publikasi sehingga menghambat percepatan studi.
Dalam proses penyelesaian studi, pengetahuan dan kemampuan individu mahasiswa dihadapkan pada berbagai kendala tadi. Terutama terkait semakin bervariasinya kendala maupun potensi kendala yang ada. Sehingga ada kekhawatiran semakin bervariasi kendala menyebabkan mahasiswa terlambat dalam merespons, apabila hanya mengandalkan pengetahuan serta kemampuan individu. Untuk itu perlu adanya kolaborasi atau sinergi. Baik dengan teman, dosen, maupun berbagai pihak.
Niklas Luhmann dalam bukunya Ecological Communication (1989:32) menyatakan bahwa penanganan masalah ekologis perlu dengan pendekatan komunikatif. Persoalan ekologis bagi Luhmann menuntut masyarakat menyusun kapasitasnya untuk memproses suatu informasi. Dari ungkapan tersebut berarti berbagai kendala yang dialami oleh mahasiswa memerlukan pendekatan komunikatif. Berbagai persoalan atau kendala dalam studi menuntut mahasiswa menyusun kapasitas agar lebih siap dan adaptif.
Dengan adanya komunikasi baik dengan teman seangkatan, lintas angkatan, maupun dosen (pembimbing maupun yang bukan pembimbing) tentunya akan menghasilkan berbagai informasi yang akan berguna. Informasi yang kecil maupun besar apabila dirangkai akan menjadi energi yang luar biasa dalam penyelesaian studi. Apalagi saat ini kita berada di masyarakat informasi. Berbagai informasi yang ditawarkan kolega dapat memperkuat resonansi sistem dan meningkatkan respons terhadap berbagai kendala yang ada.
Contoh kecilnya ketika diskusi dengan teman terkait tugas akhir sudah pasti akan ada informasi terkait tata cara bimbingan, cara hubungi dosen, tips menyusun proposal, bahkan manajemen stress. Seringkali ketika menunggu jawaban dari dosen, mahasiswa ‘tidak sabar’. Padahal bisa jadi selain karena kesibukan, dosen tersebut sedang memikirkan ‘jalan keluar’ atau jawaban untuk menajamkan proposal yang diajukan. Hal ini saya dapat juga dari senior, bahwa kita perlu juga berempati terhadap pertanyaan ‘mengapa pesan belum direspons oleh dosen”.
Saya jadi inget salah satu pesan pemuka agama bahwa sabar itu hakikatnya menyempurnakan ikhtiar dan tidak menzalimi diri. Sehingga sabar dalam menunggu balasan dosen dapat dimaknai tentang bagaimana kita mampu memanfaatkan waktu menunggu jawaban dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat terutama yang mendukung tugas akhir. Jangan sampai kita menzalimi diri dengan merasa tertekan akibat belum dibalasnya pesan hingga lupa makan bahkan lupa berproses.
Berbagai kesulitan maupun kemudahan dalam proses studi perlu kita ambil hikmahnya. Ketika kesulitan datang coba lihat kolega yang barangkali ada yang lebih mengalami kesulitan. Begitu pula sebaliknya ketika merasa mendapatkan kemudahan perlu berempati terhadap teman yang kesulitan. Tawarkan bantuan. Diatas langit masih ada langit, dibawah bumi masih ada bumi.
Pada akhirnya menyelesaikan studi bukan lagi persoalan individu semata tetapi tentang bagaimana individu mendayagunakan diri dan orang lain. Sekarang tinggal mana yang akan dipilih, bertarung atau menghilang. Fight or flight. Selamat berproses.
Kontrakan Ngaglik
15 Oktober 2022 Jam 11.00