“Mahasiswa itu sukanya mepet-mepet, mendesak lulus Januari biar tidak bayar. Kalo sudah begitu memburu-buru dosen. Memangnya dosen hanya satu bimbingannya”. Sebuah pesan di grup mengutip apa yang disampaikan dosen kepada kolega. Pesan tersebut sejatinya pengingat bahwa tesis atau tugas akhir itu ada faktor pembatas, yaitu waktu dan sumber daya. Termasuk juga uang, pikiran, perasaan, emosi, dan sebagainya. Sebagaimana kita telah memulai, maka sejatinya kita pula yang (harus) mengakhiri (lulus).
Saya jadi ingat nasehat dari kolega dalam mengelola media sosial. Saya rasa mirip-mirip dengan proses yang dijalani dalam menyusun tesis. Bedanya kalo pengelolaan tesis itu jangka pendek (1-2 tahun) sedangkan media sosial jangka panjang. Pesan tersebut saya coba sedikit modifikasi, dikaitkan dengan tesis: “Mengerjakan tesis ibarat lomba marathon, jadi harus jaga stamina. Ada lima aliran:
- Aliran asal bergerak, yang penting tidak pingsan (berhenti);
- Aliran yang kadang lari, kadang berjalan;
- Aliran lari kencang, capek melambat, kencang lagi, melambat lagi;
- Aliran lari kencang terus, capek berhenti (2-3 hari);
- Aliran lari kencang terus, melambat sedikit dikritik, kalo sudah pingsan baru diganti.
Aliran mana yang kita ikuti itu tergantung dari apa yang telah, sedang, dan akan upayakan. Cepat tidaknya itu bukan yang utama. Yang utama finish. Bukannya tesis yang terbaik itu yang selesai? Perkara dapat medali, nembus jurnal Sinta 1 atau Q1, anggap saja sebagai bonus. Meskipun ada juga hal tersebut juga menjadi tujuan/impian.
Ada banyak faktor yang menunjang kesuksesan pengerjaan tesis, antara lain manajemen waktu, komunikasi dengan pembimbing, penentuan fokus dan lokus, serta pemilihan prioritas. Masing-masing orang memiliki kondisi yang berbeda. Ada yang kuliah sambil bekerja sehingga lebih menguras energi, waktu, dan pikiran.
Seringkali dalam proses penyelesaian tesis ada ‘gangguan-gangguan’. Apabila digali lebih lanjut setidaknya ada beberapa hal yang menghambat pengerjaan tesis (thesis traps). Mengapa thesis traps? Sebab apabila seseorang masuk pada jebakan ini maka akan susah keluar, minimal akan ada waktu dan sumberdaya yang ‘terbuang’.
Pertama, bingung dengan fokus penelitian. Saya pernah mendengar dosen senior berkata: judul masih bisa berubah tetapi fokus jangan. Artinya bahwa ketika menetapkan suatu topik perlu yakin terhadap topik yang diteliti. Kalau saya prinsipnya topik yang bagus itu yang dekat. Dekat secara penguasaan materi/isu/teori. Serta dekat secara jarak dan sumber daya. Jika salah satu terpenuhi maka kita akan lebih menikmati.
Seringkali seseorang dihadapkan pada topik mana yang akan diambil. Tidak yakin dengan topik A pindah ke B, kemudian ke C, dsb. Untuk pindah topik tentunya memerlukan waktu dan sumber daya yang tidak sedikit. Belum lagi kalau perubahan topik terjadi ketika bimbingan. Otomatis waktu untuk mencari bahan, merenungi, serta konsultasi dengan pembimbing akan lebih lama. Untuk itu memang benar kata senior bahwa sebaiknya topik tesis itu sudah ada sejak awal kuliah. Salah satu indikatornya dengan mengarahkan berbagai tugas ke topik tersebut.
Kedua, menunda-nunda menulis. Seringkali ide itu lewat saja di pikiran. Namun tanpa diikat dengan tulisan maka ide tersebut akan lewat begitu saja. Ibarat angin, kerasa tapi tidak nampak. Ibarat tulisan di pasir yang mudah tersapu angin/air.
Belum lagi seseorang dibingungkan terhadap apa yang ada dipikirannya. Ibarat antar ide saling bertentangan dipikiran. Sebaiknya ditulis. Kemudian dibuat mind mapping. Dengan adanya coretan-coretan akan memudahkan dalam mengingat apa yang telah ada dan belum ada. Seringkali apa yang telah ditulis terpikirkan saat lagi di kamar mandi, perjalanan, atau mau tidur. Nah tinggal bagaimana melengkapi, mengubah, atau mempertajam terhadap apa yang telah ditulis. Seringkali pula seseorang mengeluh banyak ide tetapi sama sekali belum ditulis. Menurut saya itu ibarat angan-angan yang akan cepat tersapu oleh berbagai pikiran bahkan kenangan.
Ketiga, manajemen waktu. Seringkali dalam proses penulisan tesis dihadapkan pada pekerjaan yang sama-sama perlu prioritas. Disini perlu pintar-pintar membagi waktu. Memang tidak semua mahasiswa yang kuliah mendapatkan beasiswa termasuk parents foundation. Ada sebagian yang bisa kuliah karena sambil bekerja atau sampingan lainnya. Justru tantangan disini bagaimana mengelola waktu agar dua-duanya bisa tercapai. Terkadang memang ada yang perlu dikorbankan untuk sesaat guna mempercepat mendapatkan yang lain. Tak masalah menurut saya asal bertanggungjawab dan dikomunikasikan.
Yang paling penting juga memanfaatkan waktu jeda menunggu koreksian. Terkadang menunggu koreksian tidak cukup seminggu dua minggu. Waktu jeda ini yang terkadang membuat jenuh. Belum lagi proses penyusunan proposal hingga laporan bisa sampai satu tahun bahkan lebih. Jeda-jeda waktu luang ini yang kadang menjebak. Misalnya memilih ngegame tapi malah keblablasan (kecanduan game). Milih ngonten malah kebablasan ngonten. Memilih liburan tetapi terlena. Untuk mengatasi hal tersebut perlu membangun sistem peringatan dini. Baik diri sendiri atau orang lain perlu dijadikan early warning system apabila kita sudah tidak berada di jalur yang tepat.
Keempat, menunggu sempurna. Seringkali seseorang terjebak pada keinginan untuk menjawab semua pertanyaan pembimbing atau kekurangan yang dihadapi. Waktu yang diperlukan bisa seminggu, dua minggu, kadang hingga hitungan bulan. Menurut saya tidak semua pertanyaan itu harus dijawab dengan jawaban. Terkadang pertanyaan itu malah perlu dijawab dengan pertanyaan lain. Oleh sebab itu tak perlu menunggu sempurna dalam memperbaiki kekurangan. Justru apabila masih ada yang mengganjal bisa jadi peluang untuk dikonsultasikan. Yang penting sudah berusaha dicari.
Kelima, lupa teman seangkatan. Seringkali urusan tesis dianggap sebagai tugas individu yang perlu dijaga tingkat kerahasiannya (high risk). Teman seangkatan atau satu prodi tidak dilibatkan dalam prosesnya. Meskipun sejujurnya teman bakal diperlukan. Minimal sebagai peserta seminar atau sebagai pembahas. Tugas akhir termasuk tesis adalah tugas bersama, kerja kolektif. Bagaimana pun juga teman seangkatan itu aset. Mereka yang selama 1-2 semester berproses bersama kita. Tahu kemampuan, batas kemampuan kita, serta lingkungan akademik (aturan, dosen, fasilitas). Sehingga tetap terhubung dengan teman seangkatan adalah koentji.
Apa yang dirasa sulit bisa jadi solusinya melalui teman. Jangan menghindar termasuk putus komunikasi. Seringkali ada teman yang perhatian terhadap proses kita, justru dicuekin atau dianggap lewat begitu saja. Padahal teman itu orang terdekat kedua dalam pengerjaan tesis setelah dosen pembimbing.
Keenam ragu-ragu. Ini penyakit semua orang, tidak hanya diurusan terkait tesis. Seringkali ada momen ketika akan menghubungi dosen muncul rasa ragu-ragu. Ragu terkait susunan kalimat atau ragu dikirim jam berapa. Jangan-jangan kata-katanya ga pas. Jangan-jangan dosennya lagi sibuk. Jangan-jangan begini begitu. Terlalu overthinking. Kirim-kirim saja. Kalau ragu dengan kata-kata bisa minta kawan untuk sejenak jadi editor. Asal itu dikirim di jam kerja plus sopan (biasanya saya awali dengan mohon izin) sudah cukup untuk dikirimkan. Daripada terlalu lama menimbang-nimbang yang akhirnya waktu 1 jam, 2 jam, bahkan lintas hari tak terasa terlewati. Belum lagi kepikiran apabila belum dikirim-kirim.
Termasuk juga terkait dengan perbaikan juga seperti itu. Mirip dengan penjelasan poin 4. Obat ragu itu dengan memulai. Perkara nanti gimana ya jalanin saja. Terakhir saya mengutip nasehat ulama Ibnul Jauzy: Hari – hari adalah lembaran baru untuk goresan amal perbuatan, jadikan harimu sarat dengan amalan yang terbaik. Kesempatan itu akan segera lenyap secepat perjalanan awan, dan menunda pekerjaan adalah tanda orang yang merugi. Dan barang siapa bersampan kemalasan, Ia akan tenggelam bersamanya.
Ungaran, 04-01-2023/07.50
Dosen seringnya juga lama balesnya
he e mbak itu juga mbak. Kalo aku biasanya seminggu belum dibales langsung wa ulang. Kalo mendesak terkadang selang 2-3 hari.