Pandemi Covid-19 membuat topik pangan semakin seksi. Berbagai ide gagasan dan terobosan pangan dihadirkan dalam berbagai diskusi. Sekarang tinggal bagaimana kita bergotong royong dalam mengeksekusi.
Salah satu strategi dalam menangani Covid-19 adalah pemberlakuan pembatasan sosial baik social distancing maupun physical distancing. Bahkan beberapa daerah telah menerapkan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) atau yang semisalnya. Masyarakat pun diminta untuk tidak mudik agar dapat memutus rantai penyebaran Covid-19.
Salah satu persoalan utama dalam PSBB adalah pangan. Baik orang yang masih bekerja maupun yang dirumah (atau dirumahkan) tentunya memerlukan jaminan pangan. Pemerintah pun bergerak termasuk juga komponen masyarakat untuk saling meringankan beban.
Berbagai pertanyaan pun muncul terkait ketahanan pangan Indonesia disaat pandemi Covid-19. Apakah Indonesia stok pangannya aman sebab beberapa komoditas masih mengandalkan pasokan dari luar. Negara pemasok pun juga mengalami pademi Covid-19.
Berbagai pihak kemudian mengagas diskusi terkait kondisi pangan, khususnya topik ketahanan pangan. Berbagai diskusi disajikan dan dapat diikuti melalui media virtual. Narasumber dari birokrasi, akademisi, maupun praktisi dihadirkan.
Dari berbagai diskusi yang pernah dilakukan, adanya pandemi Covid-19 semakin menekankan pentingnya ketahanan pangan. Ketahanan pangan menurut UU No.18 Tahun 2012 dimaknai sebagai ketersediaan pangan yang cukup baik dari sisi ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, dan stabilitas. Terdapat 11 komoditas pokok yang dikawal pemerintah secara intensif, yaitu beras, jagung, bawang merah, bawang putih, cabe merah besar, dan cabe rawit. Kemudian daging sapi, daging ayam, telur, minyak goreng, dan gula.
Semua bahan pokok tersebut sebenarnya dapat diproduksi di dalam negeri. Namun kran impor gula dan bawang putih tetap dibuka untuk kecukupan stok dalam negeri. Termasuk juga impor gandum mengingat besarnya kebutuhan untuk industri.
Jaminan stok pangan komoditas tersebut juga perlu diimbangi dengan usaha perorangan untuk mencukupi sebagian pangannya secara mandiri. Urban farming menjadi salah satu hal yang dapat dilakukan saat ini. Urban farming sejatinya merupakan ajaran dari pendahulu kita dalam mencukupi kebutuhan keluarga dengan mengandalkan hasil pekarangan/kebun.
Bahasan ketahanan pangan juga tidak dapat dilepaskan dari pangan lokal. Adanya pandemi Covid-19 membuat pangan lokal semakin dilirik. Pemerintah daerah perlu melakukan identifikasi stok pangan lokal yang ada di daerahnya. Hal ini sebagai bagian antisipasi apabila pasokan pangan pokok menjadi hambatan.
Pangan lokal merupakan andalan untuk mensubtitusi beras khususnya kebutuhan karbohidrat. Berbagai pangan lokal tumbuh subur di Indonesia misalnya ubi kayu, ubi jalar, sukun, talas, dan sagu. Bahkan porang yang akhir-akhir ini banyak dibudidayakan sebagai komoditas ekpor dapat dijadikan alternatif sumber karbohidrat.
Adanya Covid-19 juga membawa hikmah terkait pola distribusi pangan yang semakin banyak berbasis online. Hal ini merupakan jawaban disaat masyarakat diminta di rumah saja maka pemesanan bahan pangan melalui smartphone menjadi andalan. Hubungan antara petani dengan konsumen semakin pendek, sehingga berdampak pada harga dan kesegaran produk.
Banyaknya permintaan hasil pertanian melalui online atau smartphone membuat semakin banyak petani lebih akrab dengan teknologi. Kedepannya hal ini dapat berimplikasi terhadap teknik penyuluhan yang dilakukan penyuluh pertanian.
Bentuk penyuluhan pertanian yang masih banyak mengandalkan tatap muka langsung sebagian akan mengarah ke bentuk virtual/ cyber extension. Saat ini saja berbagai virtual learning diselenggarakan untuk petani dan penyuluh. Kedepan setelah pandemi, metode ini masih layak untuk tetap dilakukan.
Terakhir, kita semua tentu berharap pandemi Covid-19 segera berakhir. Namun sembari menunggu pandemi ini berlalu ada banyak hikmah dan pelajaran yang dapat diambil. Hikmah tersebut digunakan untuk menatap masa depan pangan yang lebih baik.
Tulisan ini dibuat diawal pandemi Covid-19 dan dimuat di Sinar Tani dengan sedikit penyesuaian oleh editornya