Ketergantungan Maluku Utara terhadap pangan dari luar daerah harus dikurangi. Adanya wabah Covid-19 di daerah supplier bisa menimbulkan gejolak pangan di Maluku Utara. Untuk itu diperlukan upaya ekstra guna menjamin stok pangan aman.
Adanya covid-19 diprediksi kedepan akan mempengaruhi pasokan pangan di Maluku Utara mengingat mayoritas bahan pokok dikirim dari Manado, Makassar, maupun Surabaya yang konfirmasi kasus Covid-19 lebih banyak. Data per 15 April 2020, terdapat 4 kasus positif Covid-19 di Maluku Utara. Pemerintah daerah pun mulai menghitung dan mengkalkulasi stok dan pasokan pangan di Maluku Utara. Tanpa rencana yang konkret diprediksi Covid-19 dapat menyebabkan gejolak pangan (kelangkaan pangan dan melonjaknya harga pangan). Pemerintah daerah wajib berupaya maksimal untuk menjamin kecukupan logistik
Sebagai wilayah kepulauan, biaya transportasi mempengaruhi harga jual bahan pokok. Dalam satu bulan terakhir terjadi lonjakan harga pangan di Maluku Utara. Beras naik Rp. 2.000/kg, bawang merah naik Rp. 15.000/kg, dan bawang putih naik Rp. 15.000/kg. Bahkan di Ibu Kota Kepulauan Sula cabe rawit dilaporkan langka. Badan Pusat Statistik melaporkan produksi padi di Maluku Utara pada 2019 menurun 22,63% dibandingkan tahun sebelumnya. Setahun sebelumnya Maluku Utara mengalami defisit beras 88.780 ton yang pemenuhannya mengandalkan pasokan dari luar.
Pada masa pandemi seperti ini pemerintah berkewajiban menjamin bahwa pasokan dari luar masih dapat dilakukan. Ada kekhawatiran bahwa pasokan dari luar bisa saja digunakan untuk pemenuhan di daerah sentra baik pemenuhan sehari-hari maupun sebagai program jaring pengaman sosial.
Dalam rangka pemenuhan produksi beras, pemerintah daerah perlu melakukan terobosan dengan mendorong petani untuk mengoptimalkan lahan yang ada. Dengan luasan lahan sawah di Maluku Utara 13.542 ha dan indeks pertanaman masih dibawah 1 membuka peluang agar indeks pertanamanan dapat naik menjadi 2 bahkan 3 kali tanam dalam setahun.
Lahan-lahan sawah yang sudah lama tidak digarap (bongkor) perlu dilakukan optimasi, yakni usaha meningkatkan indeks pertanaman dan produktivitas melalui penyediaan sarana produksi dan pengolahan lahan. Laporan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara (2019) di Halmahera Utara dan Pulau Morotai tercatat ada 816 ha lahan sawah yang bongkor. Jelas apabila dihidupkan kembali dengan bantuan alat mesin pertanian yang ada dapat membantu produksi beras di daerah.
Upaya selanjutnya petani perlu mendapatkan dukungan kemudahan dalam akses sarana produksi seperti pupuk maupun pestisida. Introduksi varietas unggul baru (VUB) dari Badan Litbang Kementerian Pertanian perlu ditingkatkan lagi adopsinya di petani. Introduksi VUB merupakan langkah cepat guna mendongkrak produktivitas lahan.
Berbicara pangan di wilayah kepulauan terkait erat dengan aksesbilitas. Adanya 89 pulau berpenghuni di Maluku Utara, pemerintah perlu mengatur arus mobilitas kapal untuk mengangkut bahan pangan ke wilayah tersebut secara merata. Mengingat adanya Covid-19 turut berdampak pada mobilitas angkutan barang.
Angka konsumsi beras di Maluku Utara yang hanya 88 kg/kapita/tahun (nasional 111,5 kg/kapita/tahun) merupakan indikator baik bahwa masyarakat tidak hanya mengandalkan nasi untuk pemenuhan karbohidratnya. Adanya pangan lokal seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan pisang perlu ditingkatkan konsumsinya agar dapat semakin menurunkan konsumsi per kapita yang dampaknya ke pengurangan pasokan beras dari luar.
Adanya Covid-19 memberikan sinyal ke pemerintah daerah agar lebih memperhatikan sektor pertanian utamanya tanaman pangan. Perlu upaya yang serius dan segera dari pemerintah yang didukung oleh masyarakat agar kita yakin bahwa logistik pangan selama pandemi Covid-19 terjamin.
Tulisan ini dibuat awal pandemi Covid-19 dan merupakan tugas Kelas Tanpa Batas Intensif yang diselenggarakan oleh Tempo Institute