Sawab (54 tahun) petani di perbukitan Selopamioro menceritakan bahwa hujan yang terjadi saat kemarau periode Mei-Juli 2020 berdampak pada pertanaman bawang merah miliknya. Bawang merah harus dipanen lebih dini untuk menghindari kerugian lebih besar. Banyak petani yang hanya mendapatkan 30% hasil panen dibandingkan musim-musim sebelumnya. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, periode musim bawang merah Mei-Juli petani dapat membawa pulang Rp 25-30 juta per 1.000m2.
Tidak maksimalnya hasil yang didapat menyebabkan petani kesulitan membeli benih bawang merah pada periode tanam bulan Agustus 2022. Sebab harga benih yang biasanya Rp 45.000/kg melonjak dua kali lipat. Dampaknya petani mengurangi luas tanam bawang merah dan menggantinya dengan tanaman hortikultura lainnya, seperti cabai, terong, maupun tomat yang harga benihnya lebih terjangkau.
Petani mengungkapkan anomali iklim pada 2022 yang paling parah dirasakan selama menjadi petani. Pada waktu tersebut terjadi hujan yang terjadi di musim kemarau dengan intensitas tinggi yang familiar disebut petani sebagai “udan salah mongso” (hujan di luar biasanya). Perhitungan waktu tanam petani berdasarkan kearifan lokal “pranata mongso” pun meleset.
April yang biasanya disebut sebagai fase “mareng” pada pranata mongso, yang identik dengan curah hujan yang minim justru terjadi hujan dengan intensitas tinggi. Kejadian tersebut dapat dimaknai sebagai indikasi terjadi perubahan iklim di wilayah Selopamioro Kabupaten Bantul.
Dalam cakupan yang lebih luas, wilayah ini hingga 2022 pertengahan dilaporkan BMKG masuk zona musim (ZOM) 142. Pembagian ZOM didasarkan pada pola curah hujan. Namun sejak akhir 2022 wilayah tersebut masuk ZOM 274. Adanya perubahan pola hujan akibat perubahan iklim tentu berdampak pada terjadinya perubahan ZOM.
Apa yang terjadi di Selopamioro merupakan salah satu bukti bahwa saat ini ancaman perubahan iklim semakin nyata. Sebab perubahan iklim memiliki dampak signifikan pada sektor pertanian yang merupakan sektor yang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian antara lain: meningkatnya hama dan menurunnya musuh alami, terjadinya cekaman yang membuat lahan kering maupun banjir, yang pada akhirnya menurunkan hasil produksi tanaman (Suciantini, 2012; Hidayati & Suryanto, 2015; Wardani, 2016). Dampak tersebutlah yang juga dialami oleh petani di Selopamioro. Bahkan Bappenas memperhitungkan kerugian akibat perubahan iklim kurun 2020-2024 diperkirakan mencapai Rp. 544 triliun (LCDI, 2022).
Menurut Arnell & Gosling (2016) pada penelitian berjudul The impacts of climate change on river flood risk at the global scale, fenomena cuaca ekstrem seperti kekeringan dan banjir semakin sering terjadi. Proyeksi untuk tahun 2050 menunjukkan bahwa banjir yang saat ini terjadi hanya sekali dalam seratus tahun, akan terjadi setidaknya dua kali lipat lebih sering di 40% wilayah dunia. Penelitian tersebut tentu menjadi warning bagi petani di Selopamioro mengingat pertanaman dilakukan di kawasan perbukitan. Meskipun petani bercocok tanam dengan sistem terasering sabuk bumi, tetapi tetap saja ada kekhawatiran terhadap tanah longsor. Petani pun akan semakin rentan terhadap perubahan iklim.
Namun sejatinya kerentanan tersebut meningkat apabila terjadi hujan di musim kemarau. Di musim kemarau sendiri yang identik dengan kekeringan, petani relatif tahan. Sebab dengan kearifan yang dimiliki, petani melakukan panen air hujan (water harvesting) yang ditampung di dalam embung dengan kapasitas 45-60 m3. Di situ ada lahan, di situ pula terdampak embung. Maka tak heran jumlah embung menembus 500.
Petani pun juga turun mengembangkan pola tanam, selain bawang merah ditanam dua kali petani menanam padi di akhir November ketika musim hujan. Padi yang dipanen pun tidak dijual, melainkan sebagai cadangan pangan selama satu tahun kedepan. Bahkan petani turun mengembangkan lumbung pangan.
Setiap Kepala Keluarga (KK) menyetorkan 5 kg gabah hasil panen ke lumbung pangan. Jumlah yang terkumpul digunakan untuk cadangan pangan bersama. Apabila ada masyarakat yang kehabisan stok gabah di rumah, bisa mengakses lumbung pangan. Bahkan terhadap masyarakat yang memiliki kebutuhan mendesak, bisa juga meminjam gabah untuk kemudian diuangkan.
Berbagai praktik yang dilakukan masyarakat Selopamioro sebenarnya merupakan bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim khususnya dalam menghadapi kekeringan. Namun variabilitas iklim berupa intensitas hujan yang tinggi saat musim kemarau masih belum mampu direspons dengan baik oleh petani. Mengingat komoditas hortikultura yang dikembangkan relatif lebih rentan saat musim penghujan.
Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat bersama dengan pemerintah maupun pihak terkait perlu segera merespons perubahan ini utamanya melalui peningkatan kapasitas masyarakat dalam merespons berbagai perubahan yang ada.. Agar sumber penghidupan petani dari bertani tidak terus-terusan tertekan akibat anomali cuaca. Pendekatan perubahan komoditas bisa menjadi salah satu alternatif. Bawang merah yang biasanya ditanam dua kali setahun, salah satunya dapat digantikan tanaman yang relatif memiliki harga jual sama dengan bawang. Serta tentunya masyarakat lebih mudah dalam membudidayakannya.
Perubahan iklim telah secara nyata berdampak negatif terhadap kehidupan. Berbagai konsekuensi akibat perubahan iklim turut mempengaruhi keberlanjutan proses pembangunan. Bukankah pembangunan yang sejati merupakan wujud perbaikan kehidupan menjadi lebih baik? Untuk itu diperlukan aksi nyata, agar semua masyarakat mampu menghadapi krisis iklim ini.
Salah satu aksi nyata yang turun mendukung masyarakat menghadapi krisis iklim datang dari Greeneration Foundation (GF). Berdiri sejak 2014, Greeneration Foundation memiliki fokus pada isu lingkungan utamanya terkait konsumsi dan produksi berkelanjutan di Indonesia. Indonesia tanpa bencana iklim di masa depan merupakan mimpi yang ingin diwujudkan Greeneration Foundation tentunya dengan dukungan dari berbagai pihak. Greeneration Foundation pun membuka diri agar kita semua ikut berkontribusi dalam aksi iklim melalui mekanisme kampanye maupun volunteer. So tunggu apalagi, sudah saatnya kita juga turut serta untuk aksi iklim yang lebih nyata.
Pustaka
Arnell, N. W., & Gosling, S. N. (2016). The impacts of climate change on river flood risk at the global scale. Climatic Change, 134(3), 387–401. https://doi.org/10.1007/s10584-014-1084-5
Hidayati, I. N., & Suryanto, S. (2015). Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Produksi Pertanian Dan Strategi Adaptasi Pada Lahan Rawan Kekeringan. Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan., 16 (1), 42–52. https://doi.org/10.18196/jesp.16.1.1217
LCDI. (2022). Bappenas Prediksi Kerugian Akibat Perubahan Iklim Rp 544 T, Begini Rinciannya. https://lcdi-indonesia.id/2022/01/11/bappenas-prediksi-kerugian-akibat-perubahan-iklim-rp-544-t-begini-rinciannya/
Suciantini. (2012). Pengelolaan Risiko Iklim untuk Sistem Usaha Tani Berbasis Padi melalui Pemanfaatan Kalender Tanam Dinamik. Institut Pertanian Bogor.
Wardani, N. (2016). Spesifik Lokasi Untuk Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik Lokasi Untuk Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN, 1015–1026.