
Pandemi Covid-19 dihadapkan pada situasi begitu banyaknya informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berbagai berita bohong atau hoax mengiringi perjalanan Covid-19 dari awal hingga sekarang. Saat vaksin digalakkan ada sebagian pihak yang menyebarkan informasi vaksin Covid-19 mengandung microchips, vaksin memiliki efek samping terhadap kelamin pria, dan berbagai hoax lainnya.
Mungkin diantara kita atau teman dekat kita pernah mempercayai dan atau ikut menyerbarkan berbagi hoax. Hoax tersebut tersebar melalui berbagai media sosial maupun instant messenger. Hoax tersebut berdampak pada informasi dan pemahaman masyarakat. Sehingga hoax menjadi kendala dalam percepatan vaksinasi di berbagai daerah.
Banyaknya hoax bisa dimaknai sebagai bagian dari post truth. Apa itu post truth? Menurut McIntyre (2018) menjelaskan post truth adalah saat dimana “fakta alternatif” menggantikan fakta aktual, dan perasaan lebih berbobot daripada bukti. Istilah post truth muncul pada 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan berjudul The Government of Lies. Pada tulisan tersebut, penulis menyatakan keprihatinan terhadap Perang Teluk dan berbagai kejadian di Amerika.
Puncak post truth di dunia terjadi pada 2016. Ketika Pilpres Amerika baik voters maupun masyarakat di dunia terpolarisasi oleh berbagai informasi, baik dalam bentuk berita maupun opini. Beberapa tahun sebelumnya Indonesia pernah mengalami saat Pilkada Jakarta 2012 dan Pilpres 2014. Bahkan hingga saat ini masih sangat terasa polarisasi di masyarakat pasca beberapa kali Pilkada dan Pilpres. Cebong, kampret, hoax, dan buzzer lahir dari event-event perpolitikan tersebut.
Kita hidup di dunia di mana batas antara kebenaran dan kebohongan semakin kabur. Saat ini setiap orang bisa menjadi ahli dengan hanya memencet tombol atau menekan layar gadget. Apalagi saat ini kita berada di era masyarakat informasi. Masyarakat mampu untuk menyusun kapasitasnya untuk memproses suatu informasi. Dahulu informasi hanya dibuat oleh beberapa pihak. Saat ini semuanya memiliki kesempatan untuk membuat informasi. Baik informasi yang dapat dipertanggungjawabkan maupun yang hanya mencari sensasi (viral).
Untuk menghadapi era post truth kita harus mampu memahami fenomena yang terjadi. Caranya dengan meningkatkan kemampuan literasi sebagi filter. Informasi perlu di cross check. Levitin (2017) bahkan menyarankan kita untuk belajar memahami statistik. Dengan statistik akan memungkinkan kita membuat penilaian yang lebih baik dan lebih cerdas tentang dunia sekitar termasuk terhadap informasi yang beredar.
Sumber:
Levitin, DJ. 2017. Weaponized Lies: How to Think Critically in the Post-Truth Era. Dutton
McIntyre, L. 2018. Post-Truth. The MIT Press