Ade (26 tahun) baru genap satu tahun berada di Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Tepat setelah diangkat jadi PNS salah satu instansi vertikal Pusat, hujan deras dan angin kencang terjadi selama beberapa hari. Puncaknya dengan terjadi banjir yang melanda kompleks perkantoran sekaligus rumah dinas yang ditempatinya.
Fenomena cuaca ekstrim pada akhir 2021 dan awal 2022 memang dirasakan dihampir seluruh wilayah Maluku Utara. Hujan disertai dengan angin kencang serta gelombang laut tinggi dirasakan utamanya di wilayah pesisir. Bahkan puluhan rumah dan bangunan di pesisir pantai timur dan utara Ternate mengalami kerusakan.
Bencana hidrometeorologis sebagai dampak perubahan iklim semakin sering terjadi di Maluku Utara. Hal ini menegaskan bahwa Maluku Utara merupakan daerah yang rawan bencana. Selain bencana hidrometeorologis terdapat juga potensi letusan gunung api, konflik sosial, serta gempa dan tsunami. Mengingat Maluku Utara berada di jalur cincin api (ring of fire) gempa bumi sering terjadi. Bahkan berdasarkan laporan, pesisir di Maluku Utara memiliki kelas bahaya tsunami sedang.
Ancaman bencana hidrometeorologis di Maluku Utara semakin bertambah dengan makin masifnya aktivitas pembukaan lahan dan hutan yang dilakukan oleh berbagai korporasi. Hutan di Maluku Utara telah menjadi target ekspansi berbagai perusahaan tambang maupun perkebunan sawit. Eksistensi industri tambang dan perkebunan sawit telah memberikan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan. Dampak tersebut mulai dari hilangnya sumber penghidupan untuk masyarakat lokal, pencemaran air, menurunnya jumlah tangkapan nelayan, serta persoalan sosial ekonomi dan hukum lainnya.
Tentu dampak tersebut akan menimbulkan goncangan kehidupan masyarakat terutama dibidang ekonomi. Yang pada akhirnya dapat mengancam program pembangunan yang disebut sebagai proses perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Dampak dari perubahan iklim dan pembukaan lahan tentunya menjadi ancaman bagi terwujudnya tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Kearifan Lokal dan Perubahan Iklim
Tujuan dalam pembangunan adalah tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan. Dalam mewujudkan tujuan tersebut tentunya tidak lepas dari berbagai tantangan. Tantangan tersebut dapat berupa terjadinya perubahan yang tidak direncanakan yang disebut dengan bencana.
Adanya bencana mengakibatkan terjadinya perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat. Sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan terkait mengakhiri kemiskinan akan terganggu akibat adanya bencana yang dipicu adanya perubahan iklim.
Dari berbagai bencana yang mengancam Maluku Utara, masyarakat pesisir Halmahera dan pulau-pulau kecil merupakan kelompok yang paling rentan. Sebab mereka juga akan menghadapi permasalahan gelombang tinggi yang menyebabkan tidak bisa melaut. Yang pada akhirnya berakibat pada menurunnya pendapatan.
Untuk itu kesadaran masyarakat pesisir perlu ditumbuhkan dalam menghadapi bencana. Meski pada masyarakat sudah terdapat early warning system dalam merespons bencana. Misalnya kearifan lokal di Maluku Utara ketika ikan-ikan naik ke daratan dalam jumlah besar merupakan pertanda alam akan terjadinya gempa. Seperti ketika peristiwa bencana letusan Gunung Kie Besi pada tahun 1988.
Pengetahuan/kearifan lokal ini mendapatkan tantangan terkait makin bervariasinya ancaman bencana yang ada. Masyarakat pesisir Halmahera selain sebagai nelayan mereka juga berkebun dengan aneka tanaman terutama kelapa. Perubahan iklim tentu akan berdampak terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa.
Di Halmahera terutama di Tobelo dan Galela dikenal dengan adanya sasi kelapa, yaitu strategi yang diterapkan masyarakat guna mencegah pengambilan hasil kelapa sebelum masa panen. Baik pengambilan yang dilakukan oleh pemilik maupun oleh orang lain (pencurian). Lama penerapan sasi beragam, ada yang selama 4-6 bulan tergantung kesepakatan dan kebutuhan petani.
Sasi sebagai salah satu mekanisme kearifan lokal ekologis dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam juga turut terpengaruh perubahan iklim. Petani berharap sasi kelapa mampu meningkatkan produksi kelapa serta terhindar dari hama penyakit. Namun perubahan iklim memupuskan harapan tersebut. Tren produktivitas kelapa semakin menurun, apalagi kelapa yang dibudidayakan petani sudah berumur puluhan tahun.
Adanya perubahan iklim juga turut berpengaruh terhadap eksistensi sasi laut. Mengingat periode gelombang laut tinggi sudah tidak seperti dahulu lagi, tentu perubahan iklim juga turut berpengaruh terhadap sasi laut. Dampaknya pendapatan nelayan juga akan terpengaruh.
Perubahan pola bencana seperti kasus diatas dikhawatirkan menyebabkan masyarakat terlambat dalam merespons bencana yang terjadi apabila hanya mengandalkan kearifan lokal. Untuk itu perlu dikolaborasikan antara kearifan lokal dengan teknologi informasi modern.
Belum lagi adanya anggapan maupun pemaknaan bencana yang berbeda tentunya menjadi tantangan dalam menghadapi bencana. Bisa jadi apa yang dianggap kalangan akademis sebagai bencana, oleh masyarakat hanya dianggap kejadian yang ‘biasa’. Kondisi ini tentunya juga akan mempengaruhi proses komunikasi. Komunikasi bisa jadi tidak berjalan dengan lancar disebabkan input informasi dari masyarakat yang tidak tepat.
Penguatan Kearifan Lokal Melalui Pemberdayaan Dalam Rangka Mitigasi Bencana
Bencana memang tidak dapat dipastikan kapan terjadi. Namun dengan teknologi beberapa bencana dapat diprediksi dan diantisipasi. Salah satunya melalui mekanisme mitigasi. Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana. Mitigasi terdiri dari mitigasi struktural (terkait dengan pembangunan fisik/infrastruktur) dan mitigasi non struktural (penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat menghadapi ancaman bencana).
Kesadaran masyarakat pesisir Halmahera terhadap potensi bencana masih perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dilihat dengan pola pemukiman yang semakin padat di pesisir sehingga ancaman abrasi dan tsunami benar-benar nyata. Selain itu jalur dan arah evakuasi masih minim, bahkan beberapa wilayah tidak ada. Untuk itu mitigasi struktural maupun non struktural perlu bersama-sama diupayakan.
Selama ini upaya mitigasi yang telah dilakukan masyarakat dan pemerintah setempat belum optimal. Mitigasi sebatas pembuatan tanggul di pesisir pantai. Namun tanggul yang dibuat rentan rusak mengingat hantaman gelombang (abrasi) akan menggerus pondasi tanggul. Sehingga diperlukan upaya percepatan.
Upaya mitigasi dapat melalui berbagai program pemberdayaan. Mengingat pemberdayaan merupakan proses usaha guna memperkuat kemandirian masyarakat (community self-reliance). Sehingga pemberdayaan berbasis mitigasi terkait bagaimana masyarakat secara partisipatif aktif terlibat dalam berbagai program mitigasi dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Pemberdayaan masyarakat berbasis mitigasi menekankan peran masyarakat untuk terlibat dalam kehidupan sehari-harinya mewujudkan upaya-upaya mitigasi bencana. Pemberdayaan masyarakat juga menekankan penyadaran perilaku yang lebih peka terhadap tanda bahaya. Sebab hakikatnya pemberdayaan merupakan upaya bagaimana masyarakat siap untuk menghadapi tantangan/perubahan di masa mendatang. Oleh karena itu strategi pemberdayaan masyarakat berbasis mitigasi bencana penting dan mendesak untuk dilakukan.
Dalam pemberdayaan masyarakat terjadi proses perubahan yang melibatkan interaksi antar masyarakat, pengalaman secara kolektif, serta memanfaatkan potensi yang ada. Dalam proses ini masyarakat perlu didampingi untuk membuat analisis masalah yang dihadapi. Kemudian masyarakat juga dibantu untuk menemukan alternatif solusi terhadap masalah tersebut, serta diperlihatkan strategi memanfaatkan berbagai kemampuan yang dimiliki.
Untuk itu dalam upaya pemberdayaan masyarakat perlu menempatkan masyarakat sebagai subjek dan objek pembangunan. Keterlibatan masyarakat perlu didukung dengan memberikan ruang berpendapat, merencanakan program, juga mengevaluasi program. Sebab masyarakatlah yang utama dan pertama kali merasakan dampak dari program pembangunan.
Program yang dibuat merupakan penjabaran dari tujuan yang akan dicapai dan disepakati. Tujuan perlu menyesuaikan kemampuan masyarakat dan terukur. Kaitannya dengan pemberdayaan berbasis mitigasi tujuan yang akan dicapai antara lain: (1) meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi bahaya bencana melalui perubahan pengetahuan sikap dan keterampilan; (2) meningkatkan peran masyarakat untuk terlibat aktif dalam berbagai program yang disusun bersama dalam upaya mitigasi bencana; dan (3) memberikan alternatif pilihan terhadap usaha bernilai ekonomi dan ekologis yang berkelanjutan.
Berbagai bentuk kegiatan mitigasi struktural yang dilakukan meliputi pembangunan zonasi wilayah bencana dengan bentuk kegiatan pemetaan zona bahaya, rawan bahaya, serta aman di tiap-tiap desa. Kemudian pembangunan sistem peringatan dini dengan bentuk kegiatan pembangunan sensor early warning system. Selanjutnya yaitu pembuatan jalur, arah, dan lokasi evakuasi. Yang tak kalah penting adalah pembibitan dan penanaman mangrove.
Untuk kegiatan mitigasi non struktural meliputi sosialisasi dan penyuluhan terhadap masyarakat terkait pentingnya mitigasi serta langkah apa saja yang perlu dilakukan. Kegiatan ini dilakukan sebelum mitigasi struktural dilaksanakan. Selanjutnya secara berkala dilakukan simulasi kebencanaan untuk melatih dan mengevaluasi kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Kegiatan mitigasi non struktural juga terkait pelatihan-pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat dalam pengembangan mangrove yang kedepan ditargetkan menjadi desa wisata. Mitigasi non struktural juga terkait pembuatan peraturan desa/adat/regulasi sejenis agar apa yang diupayakan mempunyai dasar hukum.
Pemberdayaan berbasis mitigasi perlu melibatkan semua lapisan masyarakat. Masyarakat dari level anak hingga dewasa diberikan pemahaman terkait pentingnya mitigasi bencana. Sehingga karakter kesiapsiagaan sebagai indikator keberhasilan ditanamkan sejak dini.
Implementasi program pemberdayaan berbasis mitigasi akan semakin mendapat dukungan dari masyarakat apabila masyarakat turut terlibat dalam proses perencanaan maupun evaluasinya, tidak sekadar pelaksanaanya saja. Kemudian pelaksanaan program juga perlu didukung dengan potensi masyarakat yang ada. Misalnya terkait dengan mitigasi struktural yang identik dengan pembangunan fisik dalam dilakukan dengan babari. Seperti halnya gotong royong, babari merupakan bentuk kerja sama suka rela (membantu tanpa mengharapkan dibantu). Babari identik pada aktivitas sekitar rumah tangga misalnya menggali sumur, membangun rumah (barifola), dan kerja sama membangun fasilitas umum lainnya.
Dari berbagai upaya mitigasi tersebut, penanaman mangrove menjadi fokus utama. Masih banyak daerah di pesisir Halmahera yang belum memiliki kawasan mangrove. Padahal penanaman dan pengembangan mangrove mempunyai peran strategis. Pemilihan mangrove menjadi program utama disebabkan mangrove memiliki multiple effect dari aspek ekologis, ekonomi, dan sosial. Selain itu mangrove dapat mengurangi dampak kerusakan tsunami dan abrasi, ekosistem bagi udang dan kepiting yang akan berdampak ke ekonomi masyarakat, serta ekowisata berbasis masyarakat.
Proses penanaman mangrove dilakukan secara babari. Kemudian dalam proses perawatan hingga pemanfaatannya menerapkan sistem sasi. Adanya mangrove ditargetkan mampu membuka akses masyarakat pesisir dalam untuk mendapatkan sumber pendapatan yang baru. Baik dari pemanfaatan udang, kepiting, dan ikan yang berhabitat di mangrove maupun nantinya dalam pemanfaatan desa wisata mangrove.
Penciptaan sumber pendapatan alternatif/baru tersebut merupakan kebutuhan mendesak untuk menjawab kelangsungan hidup rumah tangga pesisir. Untuk itu desain kegiatan pemberdayaan berbasis mitigasi juga perlu mengakomodasi tumbuhnya usaha-usaha baru.
Dalam proses pemberdayaan perlu menyentuh semua lapisan masyarakat termasuk perempuan. Perempuan merupakan sosok penting di kawasan pesisir mengingat mereka adalah kontributor penting dalam ekonomi. Selain berperan dalam urusan domestik, perempuan pesisir juga berperan menghasilkan uang melalui keterampilan yang dimilikinya. Baik dengan menjual ikan segar hasil tangkapan maupun produk olahan dari laut.
Pemberdayaan terhadap perempuan pesisir dilakukan dengan membuka akses informasi berupa pelatihan-pelatihan. Sebab akses informasi terkait ilmu pengetahuan dan teknologi turut mempengaruhi kinerja dan kualitas perempuan dalam pembangunan. Beberapa kegiatan pelatihan dan sosialisasi dalam rangka pemberdayaan berbasis mitigasi yang dapat mengakomodir perempuan diantaranya: pelatihan pengolahan ikan yang berdaya saing, pelatihan teknik pengemasan produk olahan laut, pelatihan pembukuan/ neraca keuangan, pelatihan penjualan produk berbasis online. Kemudian juga pelatihan pendirian UMKM, pelatihan kerajinan dari mangrove, sosialisasi hidup bersih wilayah pesisir, sosialisasi pengolahan sampah rumah tangga,
Keberlanjutan Program Pemberdayaan Mendukung Mitigasi Bencana
Pemberdayaan masyarakat merupakan bagian dari strategi dalam mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam pemberdayaan masyarakat diharapkan menciptakan keswadayaan masyarakat, yaitu masyarakat yang mampu mengenali potensi untuk memecahkan masalah yang dialaminya sehingga mampu mencapai kehidupan yang lebih baik.
Tantangan dalam pemberdayaan masyarakat adalah keberlanjutan program. Keberlanjutan program sangat mempertimbangkan aspek ekonomi, ekonomi, dan sosial budaya. Program pemberdayaan berbasis mitigasi di pesisir Halmahera diupayakan dapat memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Keberlanjutan program dapat ditempuh juga melalui sinergi dengan lembaga lokal, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan serta meningkatkan akses informasi.
Kesuksesan program pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor yang mempengaruhi kesuksesan pemberdayaan masyarakat antara lain akses informasi, kepemimpinan, dan kelembagaan. Akses informasi penting mengingat dampak perubahan iklim dapat juga diprediksi melalui informasi perkiraan cuaca dan iklim. Dengan memanfaatkan informasi tersebut diharapkan penentuan sasi dalam setahun menjadi lebih akurat.
Kepemimpinan dan kelembagaan juga menjadi faktor penting dalam keberlanjutan program. Masyarakat pesisir Halmahera masih menempatkan tokoh agama dan adat sebagai sesepuh, sehingga peran ini perlu diikutsertakan dalam kepemimpinan program. Kepemimpinan diharapkan mampu meredam gejolak sosial yang berpotensi datang di kemudian hari. Mengingat sesuatu yang menghasilkan nilai ekonomi berpotensi memunculkan konflik di kemudian hari.
Program pemberdayaan perlu dilakukan melalui kelembagaan yang ada. Tidak perlu membuat kelembagaan baru. Tidak dibentuknya lembaga dari nol disebabkan menghindari kesan intervensi yang terlalu berlebihan dari pihak luar. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat langsung bergerak. Adanya kelembagaan juga sebagai pusat kolaborasi dan komunikasi mengingat pemberdayaan berbasis mitigasi melibatkan lintas sektoral.
Terkait dengan isu pendanaan, masyarakat dapat memanfaatkan mekanisme denda pada sistem sasi sebagai bagian dari pendanaan. Kemudian aturan main sasi dapat juga dimodifikasi. Misalnya, setiap warga yang memiliki kebun kelapa minimal menyerahkan 10 batang kelapa untuk dilakukan sasi. Artinya panen terhadap 10 batang kelapa tersebut dikelola oleh lembaga pemberdayaan. Untuk sasi laut mekanismenya diatur agar dalam kurun waktu tertentu misalnya satu bulan, hasil tangkapan di laut digunakan untuk keperluan lembaga pemberdayaan.
Penutup
Setiap masyarakat memiliki tantangan dan potensi yang berbeda-beda. Seringkali mereka perlu dibantu untuk mampu mengenali potensi, identifikasi masalah, berikut jalan keluarnya. Bencana merupakan bagian dari tantangan yang acap kali tidak bisa diduga kapan datangnya.
Intensitas bencana yang semakin sering dari waktu ke waktu akibat perubahan iklim menuntut masyarakat pesisir harus siap. Sistem sosial yang ada di masyarakat perlu dibangunkan agar mereka sadar bahwa bencana yang terjadi dapat mengganggu proses dan tujuan pembangunan (kehidupan menjadi lebih baik). Kesadaran masyarakat dapat ditimbulkan dengan tetap memanfaatkan berbagai kearifan lokal yang dikombinasikan dengan perkembangan teknologi informasi.
Keberlimpahan informasi yang ada saat ini perlu dikelola oleh masyarakat pesisir agar dapat menentukan mana yang cocok dan sesuai dengan yang mereka butuhkan. Harapannya akses informasi akan meningkatkan kesadaran masyarakat pesisir dalam mitigasi bencana. Pada akhirnya apabila bencana terjadi kerusakan yang terjadi dapat diminimalkan dan proses resiliensi masyarakat pesisir dapat berjalan cepat.
*tulisan ini pernah diikutsertakan dalam Kontes ke-3 CTSS