novendracn.com
Menu
  • Home
  • Categories
    • Catatan
    • Opini
    • Perjalanan
    • Tips
    • Publikasi
  • About
Menu

Shutterstock

Digitalisasi Pertanian: Peluang atau Ancaman Bagi Penyuluh Pertanian

Posted on 25/02/202226/02/2022 by novendra

Sektor pertanian mempunyai peranan penting terhadap pembangunan perekonomian nasional. Mengingat sektor pertanian berperan dalam penyediaan pangan, pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, serta sebagai sumber pendapatan bagi 27,7 juta rumah tangga petani di Indonesia (BPS, 2018). Peran strategis sektor pertanian tidak dapat terlepaskan dari sosok petani dan penyuluh.

Pada setiap perkembangan pembangunan pertanian, masih terdapat permasalahan yang dihadapi oleh petani maupun penyuluh. Permasalahan yang dialami petani terkait dengan akses informasi, teknologi, input, modal, maupun pasar pertanian. Permasalahan tersebut terntunya berdampak pada produktivitas serta kesejahteraan petani.

Penyuluh sebagai mitra petani juga tak lepas dari permasalahan. Masalah penyuluh secara garis besar terkait kelembagaan penyuluhan, ketenagaan penyuluhan, dan penyelenggaraan penyuluhan (Taryoto, 2014). Tiga permasalahan besar tersebut memuat aspek keterbatasan jumlah sumber daya manusia (SDM), keterbatasan pelatihan, akses informasi dan teknologi, pembiayaan, serta akses pasar (Olagunju et al., 2021). Sehingga secara umum permasalahan yang dihadapi petani, pasti juga dihadapi oleh penyuluh.

Digitalisasi sebagai dampak dari globalisasi menawarkan perkembangan teknologi dan informasi yang cepat. Digitalisasi merupakan gambaran proses sosio-teknis seputar penggunaan teknologi digital yang berdampak pada konteks sosial kelembagaan (Tilson et al., 2010). Tentunya perkembangan digitalisasi membawa angin segar untuk sektor pertanian. Akselerasi pembangunan pertanian menjadi cepat. Bacco et al., (2019) menyatakan pada masa depan, teknologi akan memiliki peran yang makin besar dalam pertanian. Hal ini dibuktikan dengan makin beragam dan mudahnya informasi pertanian dibuat, didistribusikan, disajikan, dan diakses oleh semua pihak baik petani maupun penyuluh.

Namun tentunya digitalisasi membawa dampak terhadap petani maupun penyuluh. Perkembangan teknologi informasi ini akan makin menguatkan posisi petani dalam usaha taninya. Disisi lain perkembangan ini dianggap mengancam peran penyuluh pertanian Leeuwis (2004) menyatakan bahwa penggunaan media tertentu dapat memiliki implikasi ‘politis’ yang berarti pilihan tersebut menguntungkan beberapa pihak dan disisi lain merugikan pihak. Petani yang selama ini terkendala dengan akses informasi teknologi, modal, dan pasar akan merasa diuntungkan dengan adanya digitalisasi. Sebaliknya penyuluh yang identik dengan transfer teknologi perannya akan digantikan oleh teknologi. Sehingga penyuluh juga perlu adaptif dalam menyikapi digitalisasi agar tidak terancam dengan perkembangan teknologi.

Tantangan Penyuluh Pertanian di Era Digitalisasi

Menurut UU No.16 tahun 2006 penyuluhan sebagai proses pembelajaran dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya pelaku utama dan pelaku usaha. Melalui penyuluhan keduanya didorong agar mampu dan mampu menolong dan mengorganisasi diri dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya. Disisi lain penyuluh yang merupakan mitra pelaku utama dan pelaku usaha berperan dalam memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha, membantu menganalisis dan memecahkan masalah, juga mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya. Dari persyaratan di atas maka diperlukan sosok penyuluh yang mempunyai kompetensi yang andal.

Kehandalan penyuluh saat ini makin diperlukan ditengah tiga disrupsi yang datang dalam waktu yang bersamaan. Disrupsi tersebut adalah perubahan iklim, revolusi industri 4.0, dan pandemi Covid-19. Ketiga hal ini memerlukan respons yang cepat dari semua negara terutama dalam menyiapkan sumber daya manusia dalam menghadapinya.

Penyuluh bersama petani yang menjadi ujung tombak pembangunan pertanian perlu menyikapi ketiga disrupsi ini dengan tepat. Salehi et al., (2021) menyatakan sebagai elemen vital, penguasaan pengetahuan dan teknologi pertanian berkontribusi pada pertumbuhan dan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Peningkatan kontribusi ini juga terkait dengan perubahan sistem inovasi dari NARS-AKIS-(saat ini) AIS dengan ciri utama terjadinya peningkatan peran pelaku bisnis selaku pengguna teknologi dalam proses inovasi (Mardianto, 2013).

Rijswijk et al., (2019) menegaskan bahwa peningkatan teknologi digital di sektor pertanian mengakibatkan penurunan keterlibatan manusia. Digitalisasi telah menjadikan petani lebih termotivasi dalam usaha taninya. Disebabkan mereka makin terhubung dengan pasar dan layanan keuangan (modal) yang selama ini menjadi permasalahan. Sehingga menyebabkan perubahan dalam pengembangan dan penyampaian informasi yang dilakukan oleh penyedia (provider) informasi pertanian (Nambisan et al., 2017). Ditambah lagi telepon termasuk smartphone menjadi sesuatu yang umum di masyarakat termasuk petani (Christian & Subejo, 2018) menjadikan informasi dan teknologi makin dekat.

Dinamika ini tentunya memunculkan kekhawatiran di kalangan penyuluh pertanian terkait dengan masa depannya. Penyuluh sendiri menurut UU No.16 Tahun 2006 diklasifikasikan menjadi: penyuluh PNS, penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya. Penyuluh PNS notabene bukan hanya penyuluh yang berasal dari golongan PNS melainkan penyuluh yang diangkat oleh pemerintah melalui berbagai model rekrutmen. Penyuluh pemerintah ini selain memiliki tantangan dari segi kompetensi juga terkait dengan dinamika kelembagaan dan politik.

Penyuluh swasta relatif diuntungkan dengan adanya digitalisasi. Mereka sudah sejak awal dibekali oleh teknologi dan logistik oleh perusahaan, sedangkan penyuluh pemerintah tantangan yang selama ini dialami adalah kemampuan dalam menyediakan logistik yang terkendala birokrasi. Belum lagi persoalan politik di daerah yang sering membawa penyuluh pemerintahan tidak optimal dalam berkarya.

Re-posisi Peran Penyuluh di Era Digitalisasi

Digitalisasi bukan tanpa kelemahan. Digitalisasi akan berfungsi di lokasi yang memiliki dukungan infrastruktur yang memadai. Belum lagi kemampuan literasi digital petani yang masih beragam sesungguhnya menjadi hambatan utama dalam digitalisasi pertanian (Bacco et al., 2019). Apabila penyuluh (terutama penyuluh pemerintah) hanya mengandalkan peran sebagai transfer teknologi maka sudah pasti telah tergantikan oleh teknologi itu sendiri. Namun peran-peran lain masih menunggu untuk dioptimalkan agar penyuluh tidak tergantikan oleh teknologi.

Charatsari et al., (2020:6) menyatakan bahwa “dalam mengatasi digitalisasi ada dua jalur perubahan, yaitu morphostasis and dan morfogenesis. Perubahan morphostasis memiliki sifat transisi dan membantu organisasi bertahan dengan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang baru. Adaptasi yang dimaksud belajar dengan mengenali dan mengoreksi kesalahan. Dengan cara ini, mereka meningkatkan kompetensi mereka dalam layanan dan kegiatan tertentu. Perubahan morfogenetik terjadi ketika organisasi mengakui kebutuhan untuk bergerak melampaui paradigma operasi yang ada, mendefinisikan kembali tujuan mereka, dan mengeksplorasi kemungkinan baru”. Penyuluh dan kelembagaan penyuluh pertanian perlu menempuh dua jalur ini dalam menyikapi digitalisasi.

Sosok penyuluh dituntut untuk menjadi pemimpin yang memiliki empati dan kemampuan interpersonal dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada klien/petani. Peran ini tentunya akan sulit digantikan oleh digitalisasi maupun kecerdasan buatan. Disisi lain dialog merupakan proses yang lebih kondusif dalam melakukan perubahan perilaku dan sikap daripada bimbingan dan informasi satu arah (Jenatsch & Bauer, 2016). Petani bisa jadi akan lebih banyak mendapatkan informasi secara digital, namun belum tentu semua produk digitalisasi menawarkan proses dialog yang mengakomodir ide, pertanyaan, maupun komentar.

Peran penyuluh sebagai penasihat (advisor) tetap berlaku disaat digitalisasi. Dengan literasi digital penyuluh dapat membantu petani dalam menyeleksi berbagai informasi maupun teknologi yang sesuai dengan masalah dan karakteristik usaha taninya. Selaras dengan paradigma kafetaria penyuluhan, yaitu menyediakan (memilihkan) inovasi sesuai dengan kondisi petani (KPPN, 2018). Petani akan mengakui inovasi teknologi apabila inovasi tersebut dianggap sebagai proses interaktif antara petani dengan stakeholder terkait (Röling et al., 2012)

Disaat era keberlimpahan informasi, belum tentu semua informasi tepat memberikan solusi. Jangan sampai semangat petani dalam menggali informasi secara digital membuat mereka dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab misalnya penipuan produk berbasis online. Sumber-sumber informasi yang kredibel dan bertanggung jawab perlu dikenalkan penyuluh kepada petani.

Menurut Janc et al., (2019) dalam digitalisasi proses pembentukan pengetahuan petani dipengaruhi oleh konteks sosial (tingkat pendidikan dan kompetensi sosial). Mengingat latar belakang petani dari berbagai macam karakteristik sosial tentunya peran penyuluh pertanian masih sangat diperlukan dalam menjembatani antara kecepatan perkembangan teknologi dengan kemampuan petani dalam mengadopsi teknologi.

Penyuluh pertanian juga perlu lebih melibatkan diri dalam digitalisasi. Berbagai informasi maupun pengetahuan yang dikemas dalam webinar maupun bimbingan teknis daring perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi. Dalam proses digitalisasi bukan tidak mungkin penyuluh pertanian untuk terlibat dalam memberikan masukan atau berperan dalam manajemen data digital dan pengembangan aplikasi (Ayre et al., 2019). Bahkan apabila terampil, berbagai platform digital dapat menjadi kemasan materi penyuluhan yang dapat menghasilkan pendapatan (misalnya monetisasi youtube).

Penyuluhan pertanian bukanlah pekerjaan yang hanya ditangani oleh satu individu atau kelompok. Kerja sama antar penyuluh pemerintah, penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya dari sisi personal dan kelembagaan dengan pelaku bisnis menjadi hal yang perlu diupayakan dengan serius. Penyuluh pemerintah dan penyuluh swadaya yang terkendala dengan logistik input dapat menjalin kerjasama dengan penyuluh swasta yang dukungan logistik input sudah memadai.

Kesimpulan

Pada akhirnya pilihan hanya dua, penyuluh pertanian mau dan mampu adaptif atau memilih tidak adaptif. Persoalan birokrasi maupun gonjang-ganjing politik yang lebih sering melekat pada penyuluh pemerintah perlu dikesampingkan. Memang isu politik akan terkait dengan kebijakan dan penganggaran, namun sebaiknya penyuluh tetap menempatkan diri dekat dengan petani. Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh digitalisasi perlu diakses oleh penyuluh guna meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya.

Penyuluh pertanian perlu lebih melibatkan diri dalam pengembangan digitalisasi melalui pemberian saran maupun masukan terkait dengan informasi yang ditawarkan oleh perusahaan digital. Masukan dari penyuluh harapannya membuat inovasi yang dilahirkan akan spesifik lokasi dan menjawab permasalahan di level bawah.

 

Pustaka

Ayre, M., Mc Collum, V., Waters, W., Samson, P., Curro, A., Nettle, R., Paschen, J. A., King, B., & Reichelt, N. (2019). Supporting and practising digital innovation with advisers in smart farming. NJAS – Wageningen Journal of Life Sciences, 90–91(November 2018), 100302. https://doi.org/10.1016/j.njas.2019.05.001

Bacco, M., Barsocchi, P., Ferro, E., Gotta, A., & Ruggeri, M. (2019). The Digitisation of Agriculture: a Survey of Research Activities on Smart Farming. Array, 3–4(November), 100009. https://doi.org/10.1016/j.array.2019.100009

Charatsari, C., Lioutas, E. D., De Rosa, M., & Papadaki-Klavdianou, A. (2020). Extension and advisory organizations on the road to the digitalization of animal farming: An organizational learning perspective. Animals, 10(11), 1–13. https://doi.org/10.3390/ani10112056

Christian, A. I., & Subejo, S. (2018). Akses, Fungsi, Dan Pola Penggunaan Teknologi Informasi Dan Komunikasi (Tik) Oleh Petani Pada Kawasan Pertanian Komersial Di Kabupaten Bantul. JSEP (Journal of Social and Agricultural Economics), 11(2), 25. https://doi.org/10.19184/jsep.v11i2.9233

Janc, K., Czapiewski, K., & Wójcik, M. (2019). In the starting blocks for smart agriculture: The internet as a source of knowledge in transitional agriculture. NJAS – Wageningen Journal of Life Sciences, 90–91(September), 100309. https://doi.org/10.1016/j.njas.2019.100309

Jenatsch, T., & Bauer, R. (2016). Communication for development: A practical guide. Swiss Agency for Development and Coorperation (SDC).

KPPN. (2018). Outlook Penyuluhan Pertanian Indonesia Tahun 2018-2022.

Leeuwis, C. (2004). Communication for Rural Development Rethinking Agricultural Extension. In Communications (Third edit). Blackwell Publishing Company.

Nambisan, S., Lyytinen, K., Majchrzak, A., & Song, M. (2017). Digital innovation management: Reinventing innovation management research in a digital world. MIS Quarterly: Management Information Systems, 41(1), 223–238. https://doi.org/10.25300/MISQ/2017/411.03

Olagunju, O., Adetarami, O., Koledoye, G. F., Olumoyegun, A. T., & Nabara, I. S. (2021). Digitization of Agricultural Extension System for Effective Management of Emergency in Nigeria. Journal of Agricultural Extension, 25(4), 81–91. https://doi.org/https://doi.org/10.4314/jae.v25i4.9

Rijswijk, K., Klerkx, L., & Turner, J. A. (2019). Digitalisation in the New Zealand Agricultural Knowledge and Innovation System: Initial understandings and emerging organisational responses to digital agriculture. NJAS – Wageningen Journal of Life Sciences, 90–91(November). https://doi.org/10.1016/j.njas.2019.100313

Röling, N., Hounkonnou, D., Kossou, D., Kuyper, T. W., Nederlof, S., Sakyi-Dawson, O., Traoré, M., & Van Huis, A. (2012). Diagnosing the scope for innovation: Linking smallholder practices and institutional context: Introduction to the special issue. NJAS – Wageningen Journal of Life Sciences, 60–63(2012), 1–6. https://doi.org/10.1016/j.njas.2012.06.004

Salehi, M., Abbasi, E., Bijani, M., & Shahpasand, M. R. (2021). Evaluation of agricultural extension model sites approach in Iran. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences, 20(8), 506–518. https://doi.org/10.1016/j.jssas.2021.06.002

Taryoto, A. H. (2014). Reformasi Kegiatan Penyuluhan : Perlukah ….? In Haryono, E. Pasandaran, M. Rachmat, S. Mardianto, Sumedi, H. P. Salim, & A. Hendriadi (Eds.), Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian (pp. 207–427). IAARD Press.

Tilson, D., Lyytinen, K., & Sørensen, C. (2010). Digital infrastructures: The missing IS research agenda. Information Systems Research, 21(4), 748–759. https://doi.org/10.1287/isre.1100.0318

Post Views: 207
Category: Opini

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pos-pos Terbaru

  • Tantangan Indonesia Kedepan: EBT dan NZE
  • Peningkatan Akses Teknologi Informasi Mendukung Peran Pemuda dan Perempuan di Era Revolusi 4.0
  • Tantangan Memaknai Bencana Akibat Perubahan Iklim
  • Nutriflakes: Solusi Bebas Maag dan Asam Lambung
  • Catatan Tesis: Dinamika Transkripsi

Komentar Terbaru

  • novendra pada Jebakan Tesis
  • Ari pada Jebakan Tesis
  • novendra pada Ujian Komprehensif
  • Hafni Amalia Juniarti pada Ujian Komprehensif
  • novendra pada Dibalik Layar: Seminar Proposal

Arsip

  • Maret 2023
  • Februari 2023
  • Januari 2023
  • Desember 2022
  • November 2022
  • Oktober 2022
  • September 2022
  • Agustus 2022
  • Juli 2022
  • Juni 2022
  • Mei 2022
  • April 2022
  • Maret 2022
  • Februari 2022

Kategori

  • Catatan
  • Opini
  • Perjalanan
  • Publikasi
  • Tips

Meta

  • Masuk
  • Feed entri
  • Feed komentar
  • WordPress.org

Search

Maret 2023
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  
« Feb    

Meta

  • Masuk
  • Feed entri
  • Feed komentar
  • WordPress.org
© 2023 novendracn.com | Powered by Minimalist Blog WordPress Theme