Torang di Halmahera tara pernah pusing deng harga minyak goreng, yang penting mase bisa bapanja kalapa. Ngoni tara bisa bapanja, ambe yang su jato ta’ambur di bawa. Balah pa dia cukur deng ramas lalu masak biking minyak. Asal ngoni poha mau berapa ratus buah, kalau ngoni ada punya satu maitua cukup biking 10 botol saja su bisa batahan satu bulan.
Begitu komentar netizen di media sosial menyikapi kelangkaan minyak goreng. Ya setelah masyarakat dikagetkan dengan naiknya minyak goreng sejak akhir tahun lalu, awal 2022 masyarakat dipusingkan dengan langkanya minyak goreng.
Kelangkaan (dan mahalnya) minyak goreng merupakan suatu ironi. Sebab negara ini merupakan penghasil CPO terbesar di dunia. Lantas sebagian orang pun membandingkan dengan harga minyak goreng di Malaysia.
Harga minyak goreng sempat ‘kembali normal’, tapi masyarakat susah mendapatkan. Saya dua kali ke swalayan. Setiap lihat rak minyak goreng selalu kosong. Kalaupun ada jenisnya minyak nabati dengan harga lebih wah. Yaitu minyak goreng dari jagung, biji bunga matahari, dan minyak goreng dari kelapa (coconut oil).
Yang terakhir merupakan produk andalan masyarakat Maluku Utara. Sehingga tak heran netizen dari Halmahera berkomentar seperti di awal tulisan ini. Netizen tersebut menyatakan orang Halmahera tak perlu pusing dengan harga minyak goreng (palm oil). Sebab di Halmahera banyak pohon kelapa. Tinggal nunggu kelapa tua jatuh atau dipanjat. Untuk selanjutnya dijadikan minyak kelapa.
Netizen mengingatkan bahwa dibalik ‘kesusahan’ ada solusi. Yaitu masyarakat mengoptimalkan potensi yang ada. Kabar baiknya harga kopra saat ini pun diatas Rp.10.000,.Dengan harga segitu, mau bikin minyak goreng sendiri atau beli (asal barang ada), sepertinya petani kopra fine-fine saja.
Minyak goreng memang sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Hampir setiap olahan masakan tidak lepas dari minyak goreng. Sehingga kesusahan ini ada saja yang ‘memanfaatkannya’.
Di Kudus, Jawa Tengah ada warga yang ditipu dengan penjual minyak goreng yang dibuat dari air dan campuran pewarna. Kasusnya pun sudah ditangani pihak berwajib. Dibeberapa tempat pun ramai dengan pemalsuan minyak goreng.
Tentu kalangan pedagang kecil dan rumah tangga yang paling kena dampak kenaikan maupun kelangkaan minyak goreng. Bagi pedagang, di saat serba sulit seperti ini menaikan harga akan dirasa berat. Mengurangi ukuran/porsi mungkin jadi pilihan.
Disisi lain sebagian masyarakat menahan diri untuk tidak jajan gorengan di luar. Kekhawatiran terhadap kualitas minyak goreng yang digunakan menjadi sebab. Anggap saja hal ini sebagai diet minyak goreng. Momen ini bisa jadi pengingat agar kita mulai membiasakan lagi dengan yang direbus-rebus. Agar lebih sehat.
Semoga pemerintah dan pihak terkait segera menemukan formulasi yang tepat dalam menstabilkan harga dan ketersediaan. Salah satunya bisa melalui tata kelola distribusi. Mengingat negeri ini kepulauan, distribusi menjadi tantangan yang selalu ada.