Tahun ini wilayah Maluku Utara mengalami panen raya cengkih. Begitu pula dengan Tidore, wilayah yang sejak lampau bersama Ternate dikenal sebagai pemasok rempah ke penjuru dunia. Panen kali ini begitu istimewa mengingat terakhir panen (besar) sekitar tahun 2016 atau 7-8 tahun lalu. Panen cengkih berlangsung dari tengah tahun 2024 hingga saat ini meski volume semakin sedikit.
Cengkih di sebagian tempat merupakan tanaman yang diwariskan secara turun temurun. Tanaman cengkih identik ditanam bersebelahan dengan tanaman lainnya. Jarang sekali ada kebun yang monokultur cengkih. Pasti ada tanaman lain yang berdampingan dengan tanaman cengkih seperti pala, durian, pisang, serta kayu manis. Di Tidore bahkan sela-sela antar tanaman ditanami tanaman sayuran mulai cabai hingga tomat. Komoditas inilah yang menjadi sumber pendapatan petani cengkih di Tidore khususnya wilayah Gurabunga.
Petani di wilayah lereng Gunung (Kie) Matubu ini menjadikan cengkih sebagai ‘tabungan’. Sebab tiap sekitar lima tahun baru ada panen. Kemudian dalam kesehariannya mereka mengandalkan penjualan dari komoditas lain. Cengkih sendiri bagi masyarakat Tidore bukan sekadar hasil kebun yang bernilai ekonomi. Namun cengkih sarat dengan nilai sosial dan budaya.
Saat panen cengkih rasa kebersamaan dan berbagi menjadi bagian tak terpisahkan. Secara umum tenaga panen cengkih berasal dari luar wilayah Tidore baik itu di Halmahera, Bacan, bahkan dari Manado. Bahkan mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di Sulawesi maupun Jawa pulang kampung untuk membantu memetik cengkih sebagai bagian amunisi untuk pendidikan mereka.
Pada proses pemetikan cengkih atau panen terdapat dua skema pembayaran. Pertama bayar dengan uang atau dikenal dengan harian. Per hari (pekerjaan) panen yang dimulai dari pukul 08.00-17.00, seorang tenaga panen diupah Rp 200.000,-. Ada juga tuan (pemilik) cengkih yang menambahkan air teh dan rokok untuk kegiatan panen tersebut. Biasanya 3 bungkus rokok untuk 20 orang. Dua puluh orang? Iya panen cengkih bisa sampai sebegitu banyak tenaga yang digunakan tergantung dari banyaknya cengkih yang dipanen dalam satu pohon. Bahkan apabila buah cengkih yang dipanen banyak, sehari tidak selesai dengan tenaga sebanyak itu.
Skema kedua adalah pembayaran tenaga panen menggunakan sistem bagi hasil. Dalam bagi hasil takaran yang digunakan adalah ‘cupa’ atau wadah bekas susu kaleng kecil. Pada sistem ini misalkan dapat 50 cupa, maka 25 cupa untuk pemilik dan 25 cupa milik pemanen.
Pada skema ini ada hal yang unik apabila tenaga panen tinggal di rumah tuan cengkih. Mengingat mereka adalah orang diluar wilayah Tidore, tentu dalam kesehariannya mereka menginap atau menumpang di rumah masyarakat setempat. Apabila tuan rumah sekaligus tuan cengkih ini menggunakan tenaga panen tersebut maka bagi hasilnya akan berbeda. Apabila dapat 50 cupa, pembagian seperti ini:
- 10 cupa diberikan ke tuan rumah sekaligus tuan cengkih sebagai biaya hidup (menumpang);
- Sisa sebanyak 40 cupa dibagi lagi menjadi dua bagian: 20 cupa untuk tuan cengkih dan 20 cupa untuk pemanen. Ada juga tuan rumah yang langsung menghargai hasil panen tenaga panen tersebut dengan uang. Misalnya per cupa dihargai Rp 5.000,- berarti tenaga panen tersebut mendapatkan uang cash Rp.100.000,- (20 cupa x Rp 5.000),-
Keunikan pada masa panen cengkih adalah spirit berbagi pemilik cengkih kepada orang lain. Cengkih yang sudah jatuh di bawah pohon dapat diambil oleh siapa saja: baik itu warga Gurabunga atau warga lain. Mereka bebas mengambil cengkih yang jatuh meski tanpa izin. Bahkan apabila warga luar tersebut dalam mengutip cengkih dirasa sedikit, ada masyarakat yang mempersilahkan petik cengkih dipohon secukupnya. Maka tak heran warga yang kutip cengkih dalam sehari apabila dinominalkan bisa dapat hingga Rp 200.000,-
Proses panen cengkih tidak cukup disitu. Pada malam hari biasanya masyarakat secara gotong rotong melakukan cude, yaitu proses pemisahan buah cengkih dengan tangkai cengkih. Pada proses ini dilakukan bersama-sama dengan tetangga rumah secara bergiliran. Kegiatan ini sarat dengan nilai sosial dan budaya, pada proses cude terjadi interaksi sosial antar masyarakat yang membahas berbagai hal mulai dari keseharian sebagai petani maupun topik lainnya.
Proses selanjutnya adalah penjemuran cengkih. Uniknya saat penjemuran ini masyarakat benar-benar stand by, apalagi apabila cuaca kurang mendukung (mendung-hujan-panas). Pada masa panen cengkih, mengumpulkan masyarakat untuk bertemu memiliki tantangan sendiri. Pagi-sore aktivitas panen dan penjemuran, sedangkan malam cude cengkih. Alternatifnya, kegiatan pertemuan dilakukan di hari Jumat. Sebab masyarakat libur ke kebun dan relatif dapat ditemu meski dalam waktu yang terbatas.
Setelah cengkih selesai dijemur, bukan berarti dapat langsung dijual. Faktor harga jual dan kebutuhan menjadi hal yang utama. Sebagian masyarakat menahan cengkih menunggu harga layak. Biasanya pas panen raya harga fluktuatif. Namun apabila ada kebutuhan mendesak, masyarakat tidak berlama-lama menahan cengkih.
Itulah sekilas cengkih, hasil kebun yang telah mewarnai kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Tidore. Sekaligus menegaskan identitas Tidore sebagai bagian pusat dan jalur rempah dunia, dulu dan kini.