Saat ini dunia dilanda setidaknya empat disrupsi. Mulai dari perubahan iklim, revolusi 4.0, pandemi Covid-19 yang menuju endemi, serta konflik bersenjata antar negara. Keempat disrupsi tersebut memberikan tekanan terhadap semua negara terutama terkait energi dan pangan. Pada Februari 2022, FAO mencatat kenaikan harga pangan global 20,7%[1]. Tentu kenaikan harga pangan memberikan tekanan terhadap perekonomian yang masih dalam fase pemulihan pasca pandemi Covid-19.
Tantangan tersebut sejatinya sudah diramal oleh Presiden Soekarno. Pada 1952 Bung Karno menyebut bahwa pangan merupakan hidup mati sebuah bangsa. Untuk itu kemandirian sektor pangan perlu menjadi prioritas dalam pembangunan. Namun pembangunan pertanian di Indonesia dihadapkan pada ancaman regenerasi petani. Petani senior masih mendominasi secara kuantitas dibandingkan oleh petani milenial.
Sektor pertanian juga mendapatkan status sosial yang rendah disebabkan tidak adanya peluang yang dianggap menjanjikan untuk perbaikan hidup baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Permasalahan yang dialami petani pun masih beragam terkait akses informasi, teknologi, input, modal, maupun pasar pertanian. Permasalahan tersebut tentunya berdampak pada produktivitas serta kesejahteraan petani
Disisi lain saat ini masyarakat dihadapkan dengan disrupsi revolusi 4.0 yang ditandai dengan semakin masifnya penyebaran informasi melalui berbagai platform media. Namun penelitian yang dilakukan oleh Burhan (2018) menemukan bahwa di Indonesia, tingkat penggunaan TIK untuk pengembangan usaha pertanian terutama di perdesaan masih tergolong rendah[2]. Hal ini menunjukkan bahwa perangkat sumber daya manusia (SDM) sektor pertanian belum mampu sepenuhnya memanfaatkan teknologi. Padahal untuk dapat bersaing, peningkatan kualitas SDM dan akses informasi menjadi penting[3]. Belum lagi adanya dinamika permintaan dan tuntutan pasar memerlukan respons SDM petani yang berkualitas, handal, berkemampuan manajerial, serta berorientasi bisnis[4].
Hal inilah yang diupayakan Kementerian Pertanian melalui BPPSDMP untuk mencetak 2,5 juta petani milenial hingga 2024. Langkah ini terbilang strategis sebab petani milenial identik dengan kecakapan terhadap teknologi dan berani mengambil risiko. Belum lagi pertanian dari masa ke masa teruji paling tangguh dari berbagai krisis. Apalagi saat ini dunia dihadapkan pada ketidakpastian (uncertainty). Berbagai disrupsi yang terjadi telah mengubah tatanan yang ada.
Fenomena ini sejatinya perlu disikapi. Seseorang tidak bisa hanya mengandalkan satu kemampuan saja dalam menghadapi ketidakpastian masa depan. Kunci dalam menghadapi ketidakpastian adalah memiliki agility. Agility adalah kemampuan seseorang beradaptasi dengan cepat sesuai tuntutan lingkungannya. Agility penting guna mempermudah orientasi dan menavigasi ke arah mana melangkah. Kunci dalam meningkatkan agility yaitu melalui peningkatan kapasitas diri (self development). Seseorang tidak bisa hanya mengandalkan satu kemampuan saja dalam menghadapi ketidakpastian masa depan.
Menjadi petani milenial merupakan wujud agility. Seperti yang terjadi pada Huda, sosok petani milenial dari Kabupaten Bantul. Pandemi Covid-19 telah menyadarkan dirinya bahwa sektor pertanian teruji tangguh disaat sektor lain meredup. Saudara-saudaranya yang memiliki sawah dan ternak tidak terlalu risau dalam menghadapi ketidakpastian.
Huda memilih terjun di dunia peternakan domba. Ia menangkap adanya gap antara kebutuhan dan ketersediaan domba di Kabupaten Bantul. Banyaknya permintaan domba untuk kuliner maupun upacara keagamaan memantapkan Huda mengembangkan ternak dengan nama Gembalain Farm. Bersama dengan teman sebaya maupun peternak senior yang tergabung dalam taruna tani, Huda semakin eksis. Apalagi dengan dukungan program pengabdian masyarakat dari Fakultas Pertanian UGM semakin memantapkan pemuda berumur 33 tahun ini untuk beternak.
Meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan pertanian tetapi melalui silaturahmi Huda memiliki jaringan dengan berbagai peternak sukses. Ditambah lagi adanya digitalisasi pertanian menjadikan berbagai informasi dengan mudah didapatkan. Termasuk penjualan domba. Adanya perkembangan teknologi dari sisi fungsi, kapasitas, dan aksesibilitas dapat mendorong masyarakat pedesaan termasuk Huda dkk mendapatkan keterampilan dan jangkauan pasar maupun pekerjaan yang lebih luas.
Sehingga apa yang dilakukan oleh Huda maupun petani milenial lainnya merupakan salah satu solusi pembukaan lapangan kerja serta mampu menekan migrasi penduduk desa ke kota. Dahulu migrasi disebabkan minimnya keterampilan, kesempatan, dan peluang kerja yang ada di pedesaan. Namun saat ini dengan dukungan teknologi dan digitalisasi pertanian membuat desa lebih berdaya. Petani diuntungkan dengan semakin mudahnya akses informasi teknologi, modal, dan pasar akan merasa diuntungkan dengan adanya digitalisasi.
Perkembangan digitalisasi membawa angin segar untuk sektor pertanian. Akselerasi pembangunan pertanian menjadi cepat. Pada masa depan, teknologi akan memiliki peran yang makin besar dalam pertanian[5]. Hal ini dibuktikan dengan makin beragam dan mudahnya informasi pertanian dibuat, didistribusikan, disajikan, dan diakses oleh semua pihak.
Petani milenial menjadi garda terdepan dalam memanfaatkan momentum ini. Dengan kecakapan terhadap teknologi petani milenial sejatinya dapat juga berperan sebagai penyuluh swadaya. Petani milenial menjadi jembatan antara penyuluh senior dengan petani senior. Sehingga petani milenial berperan terkait regenerasi petani juga bisa menjadi agen inovasi.
Pada akhirnya digitalisasi dapat menjangkau petani dari berbagai latar belakang umur dan keterampilan. Sehingga digitalisasi dapat menjadikan petani lebih termotivasi dalam usaha taninya. Pada akhirnya usaha tani akan menjadi lebih baik seperti tujuan pembangunan, menjadikan kehidupan lebih baik.
Tulisan ini dibuat dalam rangka penulisan artikel program YESS Kementan.
[1] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220306151107-92-767414/fao-harga-pangan-global-naik-207-persen-februari-2022. Diakses 24 November 2022
[2] Burhan, A.B. 2018. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untukpengembangan ekonomi pertanian dan pengentasan kemiskinan. J Komunikasi Pembangunan. 16(2): 233-247. https://doi.org/10.46937/16201826338
[3] Herman, S., Sumardjo, Asngari, P. S., Tjitropranoto, P., & Susanto, D. (2008). Kapasitas Petani Dalam Mewujudkan Keberhasilan Usaha Pertanian: Kasus Petani Sayuran Di Kabupaten Pasuruan Dan Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Jurnal Penyuluhan, 4(1). https://doi.org/10.25015/penyuluhan.v4i1.2164
[4] Gandasari, D., & Musyadar, A. (2017). Informasi budidaya dalam jaringan komunikasi petani cabai. Jurnal Penyuluhan Pertanian, 12(2), 17–25. https://doi.org/https://doi.org/10.51852/-.v12i2.353
[5] Bacco, M., Barsocchi, P., Ferro, E., Gotta, A., & Ruggeri, M. (2019). The Digitisation of Agriculture: a Survey of Research Activities on Smart Farming. Array, 3–4(November), 100009. https://doi.org/10.1016/j.array.2019.100009