Beberapa waktu ketika sedang zoom pagi tiba-tiba tukang reparasi payung (TRP) lewat samping rumah. Selama di Ungaran beliau sering sekali lewat. Mungin 3-4 pekan sekali. Dengan kode khas nya “payung…payung…payung”.
Saya panggil TRP tersebut untuk mereparasi payung yang rusak ketika dibawa ke Batu awal bulan lalu. Sekitar 15 menit, perbaikan selesai. Tidak banyak obrolan saya dengan TRP. Saat selesai saya sempatkan ngobrol. Ternyata beliau dari Boja, Kendal. Sekitar 20 km dari tempat saya. Pagi berangkat dan balik setelah Ashar balik. Beliau naik angkot dan jalan kaki menelusuri perumahan-perumahan menawarkan jasa.
Sejenak saya berhitung, dengan ongkos jasa Rp 15.000,-. Satu kali reparasi barangkali tidak cukup untuk ongkos angkot pulang-pergi. Belum lagi untuk beli makan. Semoga di tas punggungnya tidak hanya ada alat reparasi tapi juga bekal. Semoga pula jasa reparasinya laris.
Namun barangkali saat ini TRP sepi pengguna. Meskipun saat ini musim hujan. Semacam ada pergeseran fungsi payung yang digantikan faktor lainnya. Payung identik dengan pejalan kaki. Saat ini aktivitas jalan kaki menggunakan payung sudah banyak tergantikan dengan teknologi.
Saat ini berbagai pilihan untuk tidak kena hujan beragam. Menggunakan mobil hingga layanan pesan antar. Dari rumah segalanya sekarang bisa didatangkan. Fenomena ini mungkin tidak diprediksi oleh TRP 20 tahun lalu. Tentunya kita masih ingat diawal 2000an ada jasa warung telekomunikasi. Perkembangan teknologi dan zaman meminggirkan peran mereka.
Banyak usaha maupun profesi lainnya yang saat ini menghadapi ‘ancaman’ akibat perkembangan zaman. Fenomena ini bisa dianggap sebagai antroposen. Antroposen sering kali digunakan untuk merujuk pada gejala ancaman kerusakan, dampak dan risiko lingkungan, serta kerentanan yang timbul sebagai implikasi dari aktivitas manusia, seperti tampak pada deforestasi, hilangnya keragaman hayati, naiknya permukaan air laut di berbagai negara dan wilayah, serta gejala kerusakan dan pengikisan sumber daya alam lainnya (Jobin et al., 2021). Saya kutip dari pidato Guru Besar UGM Prof Suharko.
Pandemi Covid-19 bukti bahwa kita berada di era Antroposen. Termasuk juga perubahan iklim. Saat ini pola dan intensitas terjadinya bencana alam makin beragam. Adanya bancana turut menyebabkan perubahan perilaku sosial ekonomi yang dipicu oleh rusaknya tempat tinggal dan terganggunya mata pencaharian.
Setiap perubahan tentu akan membawa risiko dan dampak. Dalam naskah tersebut disebutkan bahwa risiko merujuk pada bahaya yang dinilai secara aktif dalam kaitannya dengan kemungkinan di masa depan. Risiko berbeda dari bahaya. Risiko adalah akibat yang dapat dikontrol, sedangkan bahaya adalah akibat yang tidak dapat dikontrol. Menurut Prof. Suharko bahaya perlu dihindari, tetapi risiko tidak perlu ditakuti; itulah mungkin siasat dalam masyarakat risiko.
Adanya perkembangan zaman yang memunculkan perubahan sosial perlu dilakukan mitigasi. Mitigasi merupakan upaya tindakan guna mengurangi risiko dan dampak dari suatu kejadian. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya dapat lebih membantu kita dalam mitigasi.
Dalam mitigasi penting untuk memetakan masyarakat yang paling rentan terhadap adanya perubahan. Kerentanan terkait dengan kondisi yang timbul dari keterpaparan terhadap krisis, tekanan, dan guncangan, kapasitas yang tidak memadai dalam mengatasinya, serta konsekuensi buruk yang menyertainya. Misalnya dalam pandemi Covid-19 masyarakat yang bermata pencaharian sebagai PKL tentu lebih rentan daripada ASN. Kelompok rentan perlu dilihat dari bebagai latar belakang seperti umur, kelas sosial, gender, dan kemampuan fisik. Sehingga kebijakan dan fasilitas yang nantinya diberikan akan lebih tepat sasaran dan bermanfaat.