Di akhir pertemuan kelas kemarin sempat disinggung terkait experience economy. Dicontohkan ketika orang beli kopi segelas dengan menikmati kopi dari tahap panen, penjemuran hingga pengolahan menjadi secangkir kopi. Tentu harga yang dibayar akan lain. Mungkin nanti akan jadi topik opini berikutnya.
Bicara tentang pengalaman, ada hal yang berbeda ketika tujuh tahun di Halmahera (Maluku Utara) dengan saat ini berada di Jawa (Semarang). Perbedaan pertama tentu dari sisi transportasi. Kalau di Jawa transportasi didominasi dengan kendaraan darat. Di Maluku Utara dengan berbagai pulau-pulau kecil tentunya transportasi laut jadi yang utama. Transportasi memegang peranan penting terkait dengan urusan logistik. Maka tak heran harga berbagai barang pokok di Maluku Utara lebih mahal dibandingkan di Jawa. Sebagai gambaran telur dari Surabaya/Manado dikirim dengan kapal yang kemudian ada biaya bongkar muat di Ternate. Dari Ternate dikirim lagi ke Halmahera yang juga ada biaya bongkar muat.
Perbedaan kedua terletak pada makanan. Di Maluku Utara nasi sudah menjadi kebutuhan pokok, apalagi bagi masyarakat pendatang. Termasuk ketika ekspansi tambang tentunya akan meningkatkan konsumsi beras. Selain beras ada aneka pengganti karbohidrat yang lain misalnya sagu dan kasbi (singkong). Bahkan makan pisang dibakar dengan ikan jadi hal yang biasa.
Bicara soal makanan, ibarat berbanding terbalik dengan di Semarang. Di Jawa sayuran lebih murah dibandingkan ikan. Di Maluku Utara ikan lebih murah daripada sayuran. Meskipun tergantung juga dengan jenis ikannya. Di Semarang tenggiri harga 75.000/kg, di Halmahera 45.000/kg. Ikan kerapu di Semarang 65.000/kg, di Halmahera kisaran 45.000/kg.
Ikan murah tergantung ‘musim’ juga. Ada kalanya kalau musim gelombang, ikan jadi langka dan tentunya harga lebih mahal. Namun harga ikan air tawar bisa mencapai 2 kali lipat. Saya pernah beli lele Rp 50.000/kg, di Semarang lele sekitar Rp 20.000 an/kg.
Keunggulan ikan yang dijual di Maluku Utara adalah ‘kesegarannya’. Bahkan ketika langsung dimasak/dibakar sudah ada sensasi rasanya. Ikan murah kalau di pasar/ nelayan langsung. Kalau sudah masuk rumah makan beda cerita. Sekitar 2016 ketika ke Pulau Morotai ketemu dengan pencari ikan, menawarkan ikan isi empat atau lima harga Rp 50.000. Namun ketika makan malam di rumah makan, ikan seekor (dengan ukkuran dan jenis mirip yang diawarkan tadi pagi) dengan nasi, sambal, dan ca kangkung jadi Rp 60.000.
Bicara tentang kangkung, sayuran di Halmahera dijual dengan sistem ikat. Satu ikat Rp.5.000. Sayur apa pun. Sebagai perbandingan, satu ikat kangkung bisa dimasak 2 hari apabila dalam keluarga hanya ada dua orang dewasa. Kalau di Jawa kangkung 5.000 bisa buat beberapa hari. Kalau sedang langka harga bisa naik luar biasa. Bayangkan sawi satu ikat harga Rp. 10.000.
Hal yang membedakan lainnya terkait dengan biaya parkir. Kalau di Jawa berbagai tempat umum misalnya ATM, tempat makan, pusat perbelanjaan bisa dipastikan ada tukang parkir, di Maluku Utara tidak demikian. Selama 7 tahun di sana belum pernah ke ATM ada tukang parkir. Sehingga biaya parkir bisa dialihkan buat beli sayur.
Tempat wisata di Maluku Utara juga beragam. Belum semuanya dikomersialkan apalagi pantai-pantainya. Sehingga buat warga setempat tiap pekan bahkan hari wisata merupakan hal biasa. Kalau saya sering akhir pekan atau hari libur ke pantai dekat kantor. Membawa bekal makanan atau beli ikan dari nelayan untuk dibakar. Bahkan beberapa kali teman yang cari ikan dengan cara dipanah, untuk dibakar bersama pisang atau kasbi.
Banyak memang yang berpendapat biaya hidup di Timur lebih mahal dibandingkan di Barat. Kalau dilihat dari sisi transportasi dan logistik memang benar. Namun terkait dengan makan relatif juga. Ketika di Jawa pilihan makanan semakin banyak dan tentunya biaya yang dikeluarkan juga akan banyak juga.